EXTRA STORY

30.8K 1.1K 53
                                    

Anak laki-laki berpipi gembil berwarna kemerahan itu terus saja gelendotan di lengan papanya yang sedang sibuk bertelepon sambil mengawasi putranya.

"Papa, kapan Oom Syan datang?" tanya anak laki-laki itu sambil mengayunkan tangan ayahnya, meminta perhatian.

Hazzi yang telah usai dengan seseorang di telepon pun memberi perhatian penuh pada putra kecilnya yang berumur lima tahun dan suka banyak bertanya, "Sebentar lagi, Hannan," lalu Hazzi melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat sore, "Kamu udah mandi, Sayang?"

Hannan hanya menggeleng kencang menjawab pertanyaan papanya.

"Okay, then. Now, let's take a bath with Papa," ujar Hazzi langsung meraih tubuh kecil Hannan dalam gendongannya.

"I don't want to take a bath, papa. Kenapa aku harus selalu mandi?"

"Supaya kamu gak sakit karena kuman di tubuh kamu. Dan, seorang pangeran haruslah bersih dan wangi, ya, kan?"

"Tapi aku gak mau jadi pangeran, Papa. Aku mau jadi ksatria!"

"Oke. Seorang ksatria juga harus mandi setelah bertarung demi melindungi orang yang disayanginya," balas Hazzi kemudian menyunggingkan senyum.

Wajah Hannan yang mulanya tertekuk dengan ekspresi lucu pun berubah setuju dan mengangguk patuh.

***

Segala macam mainan bertebaran di lantai ruang TV yang dialasi karpet tebal nan lembut. Di atasnya, Hara sedang bermain dengan putri kecilnya yang sudah mulai bisa merangkak.

"Ke sini, Sayang, Mama punya mainan bagus," kata Hara untuk menarik perhatian putri kecilnya agar mau merangkak ke tempatnya duduk.

"Papa, tolong bacain aku cerita Tintin! Mama belum pernah ceritain ini waktu aku mau tidur."

"Boleh. Ayo bawa ke sini bukunya, Papa bacain buat Hannan."

Hannan pun berlari dengan kaki-kaki kecilnya. Bukannya langsung menuju rak bukunya sendiri untuk mengambil buku Tintin, Hannan justru menghampiri Hassya dan mamanya yang sedang asyik bercengkrama di karpet.

"Mama, ayo bawa Hassya duduk dekat Papa. Papa mau bacain buku Tintin-ku yang baru! Hassya juga pasti mau dengar juga. Ya, kan, Hassya?" Ucap Hannan sambil berjongkok di dekat Hassya dan mengelus kepala adiknya pelan.

Hara tersenyum menanggapi antusiasme putranya. Ia pun menggendong Hassya lalu mendudukkan dirinya sendiri di sisi Hazzi yang sudah lebih dulu duduk di love seat.

"Papa, ini bukunya!" Hannan memberikannya sebelum memanjat ke pangkuan papanya.

Sebelum memulai sesi mendongengnya, Hazzi mengacak rambut putranya dengan bangga.

***

Saat menyentuh halaman tengah buku cerita yang Hazzi bacakan untuk keluarga kecilnya, suara bel pintu mengalihkan perhatian mereka.

"Yey! Itu pasti Oom Syan! Biar aku yang buka! Biar aku yang buka!" Jerit Hannan yang langsung melompat turun dari pangkuan papanya.

"Sure, sure. Go ahead," kata Hazzi.

"Hannan ini, selalu aja bersemangat begitu. Kadang aku khawatir dia bisa jatuh dan luka," keluh Hara.

"Gak apa-apa, Sayang. Itu bagus, kan? Anak laki-laki harus aktif dan kuat." Hazzi melingkarkan lengan kirinya di bahu Hara lalu merangkulnya, "Tapi, kalau dilihat-lihat, Hannan itu mirip kamu, antusiasmenya dan keingintahuannya yang besar."

"Tapi tetap aja, gen kakak yang lebih dominan kalau soal urusan fisik."

"Ya. Dia harus ganteng kayak papanya," kata Hazzi memamerkan kedua lesung pipinya sambil menaikkan sepasang alis lebatnya, mengundang tawa Hara karena narsisme suaminya.

Sister PsychomplexWhere stories live. Discover now