EPILOG

37.7K 1.3K 87
                                    

Hara membelai perutnya yang berisikan calon buah hatinya dengan sayang. Sebelah tangannya menempelkan smartphone-nya di telinga kirinya.

Ia menatap lurus ke pemandangan di balik kaca jendela ruang baca selagi bicara di telepon dengan Nikmala.

"Udahlah, lo gak usah murung begitu. Gak baik buat calon keponakan gue nanti," kata Nikmala.

Sebelum menanggapi kalimat penghibur dari sahabatnya, dihelanya napas dan disunggingkannya senyum kecut yang tak terlihat oleh lawan bicaranya, "Rasanya kosong. Kayak ada yang hilang, Nik."

Pada akhirnya Hara tetap harus merelakan Hazzi untuk terbang ke Amerika meninggalkannya.

Meski mulanya Hara enggan sampai harus merengek untuk menahan kepergian Hazzi, tetapi ujungnya lelaki itu berhasil membuatnya mengerti dan memahami situasi mereka.

Hara mengalihkan pandangannya pada tangannya yang masih asyik membelai lembut perutnya yang sudah membuncit.

"Gini aja, gimana kalo sekarang gue jemput lo, terus kita ke spa atau window shopping di mall? Atau lo lagi ada pengen makan sesuatu yang langka, gitu?" tawar Nikmala.

Hara tersenyum mendengar usaha sahabatnya lalu menjawab, "Thanks, Nik, tapi jangan hari ini."

"Gimana sih? Susah emang ngertiin bumil yang lagi baper. Padahal gue udah ngebayangin bisa elus-elus calon keponakan gue!" sungut Nikmala jengkel yang lalu kembali berkata, "Oh, ya. Udah ada kabar dari kakak lo?" tanya Nikmala menyentuh topik tentang seseorang yang menjadi penyebab dari kegundahan Hara saat ini.

Hara mendengus, lalu menjawab sambil disertai senyum separuh, "Kakak? Siapa? Mungkin maksud lo, suami gue?"

Ya, Hazzi dan Hara telah membuat keputusan. Sebuah keputusan besar yang mereka ambil demi Hara, Hazzi, dan juga calon buah hati mereka, tak peduli bagaimana tanggapan orang-orang di sekitar mereka nantinya.

Yang mereka pahami adalah mereka saling terikat sangat kuat dengan sesuatu yang mereka sebut cinta. Dan, mereka tak ingin mengesampingkan apalagi mengabaikan perasaan mereka tersebut yang begitu besar hanya karena atas nama reputasi belaka.

Selama mereka saling memiliki satu sama lain, hal itu memberikan mereka kekuatan hingga seakan sanggup menjalani hidup meski jika dunia berpaling dari mereka sekali pun.

***

Hazzi merengkuh tubuh Hara begitu erat dan lama di atas tempat tidur usai pengakuan Hara yang diakhiri dengan adegan penuh air mata di dalam kamar mandi.

Di dalam belitan kedua lengannya, Hara pun bergelung nyaman. Rasanya begitu melegakan dan lengkap. Seperti menemukan potongan terakhir puzzle yang terpencar, batin Hazzi kala meresapi situasi mereka saat ini.

Lengan kekarnya memeluk Hara semakin erat hingga mereka bisa saling merasakan panas tubuh satu sama lain. Dikecupnya kening Hara dengan penuh penghayatan, seakan hal itu merupakan sebuah ritual sakral.

Saat bibirnya meninggalkan permukaan kulit wajah Hara, Hazzi lantas melepaskan mantera yang seumpama mampu membekukan semesta bagi Hara, "Sayang, ayo kita menikah. Jadilah istriku, karena cuma kamu yang bisa dan boleh mengisi posisi itu," ujar Hazzi yang meski terkesan memaksa tetap mampu melelehkan hati Hara.

Namun sejurus kemudian senyum yang terbit dipicu oleh perasaan hangat yang mengalir dalam dada Hara meredup ketika ia terpikirkan suatu hal dalam benaknya, "Tapi, nanti apa kata orang, kak? Bisa jadi skandal besar kalau kakak menikahi aku. Aku gak mau nama kakak jadi tercemar. Dan, pesaing-pesaing kakak akan bisa menggunakan itu buat menjatuhkan kakak nantinya. Aku gak mau mempermalukan kakak."

Sister PsychomplexWhere stories live. Discover now