Ariano Devandra: Lo dimana nyet?
Alvan S Permana: Warung babeh
Haryo, Putra dan Fadhil memperhatikan Nino yang memasukkan ponselnya ke kantung dengan wajah penasaran. "Dia bales, No? Apa katanya? Dia di mana?" tanya Haryo memberondong.
Nino hanya mengangguk. "Di warung babeh."
Putra berdecak. "Busetdeh, gue kira dia lagi galau gitu sambil ngebut naik motornya trus tau-tau ngasih tau kita dia lagi ada di Puncak atau mana kek gitu yang jauh. Lah, ini Cuma di warung babeh." Ucapan ngaco Putra diangguki Nino dan Haryo dengan semangat.
"Emang, gue kan udah siap padahal kayak tokoh-tokoh di film gitu, yang kalau sahabatnya lagi galau gue dateng buat ngasih support," kata Nino.
Fadhil menggeleng melihat kelakuan tiga temannya. "Udah woy, mending sekarang kita nyamperin Alvan," kata Fadhil yang membuat ketiga temannya itu menatapnya secara bersamaan. Namun tanpa perduli sedang dijadikan bahan tatapan oleh ketiga temannya, Fadhil justru berlalu pergi menuju warung babeh lebih dulu.
Nino berdecak. "Kalo ngeliat Fadhil gue suka kasian deh, cuy."
Haryo mengernyit. "Kasihan gimana?"
Putra ikut menatap Nino bingung. "Iya, kasian gimana maksud lo?"
Nino lalu menghela nafas. "Kasian aja, dia harus jadi orang normal sendirian di antara kita."
Haryo dan Putra mengangguk setuju. "Iya juga ya. Tapi mending sih, seenggaknya dia masih ada Alvan yang setengah normal. Lah kita, udah bertiga, error semua lagi!"
Dan ketiga cowok itu lagi-lagi mengangguk bersamaan. Lalu mereka beriringan menyusul Fadhil dan Alvan di warung babeh.
***
Ketika Fadhil sampai di warung babeh, dia melihat Alvan dan Alea sedang duduk berbincang. Fadhil diam menunggu di pintu masuk warung sampai akhirnya Alea pamit dan meninggalkan Alvan yang belum menyadari kehadiran Fadhil.
Alea bahkan terkejut saat bersitatap dengan Fadhil. "Hai, Dhil." Sapa Alea canggung. Yah, berbeda dengan Nino yang Alea kenal karena mereka dulu pernah terlibat di OSIS, Alea hanya mengenal Fadhil karena dia teman dekatnya Alvan. Apalagi sifat Fadhil yang agak dingin dan pendiam, maka Alea tidak pernah berkomunikasi dengannya. Ok, bukan tidak pernah, mungkin pernah tapi hanya sekedar say hi, seperti sekarang.
Fadhil hanya mengangguk kecil sebagai respon. Lalu Alea bergegas pergi.
Fadhil langsung menghampiri Alvan dan duduk di sebelahnya setelah sebelumnya memesan kopi hitam yang akhir-akhir ini menjadi kesukaannya.
"Mana yang lain, Dhil?" tanya Alvan karena tidak melihat tiga temannya yang lain.
Fadhil mengedikkan bahu, "bentar lagi juga muncul."
Dan benar saja, sedetik setelah Fadhil mengatakannya, Alvan bisa mendengar suara Nino, Putra dan Haryo yang menjadi satu membentuk harmoni yang amat sangat tidak enak untuk di dengar.
Oh, angel sent from up above
You know you make my world light up
When I was down, when I was hurt
You came to lift me up
Life is a drink, and love's a drug
Oh, now I think I must be miles up
When I was a river, dried up
You came to rain a flood
"Woy, woy! Bacot lo pada!" omel Alvan ketika ketiga temannya itu masuk ke warung babeh sambil berangkulan dan bernyanyi, membuat warung yang tidak terlalu besar itu dipenuhi suara mereka bertiga.
YOU ARE READING
Some
Teen Fiction[TELAH TERBIT & TERSEDIA DI TOKO BUKU] Menyatukan dua hati jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan ketika dua hati itu sudah saling mencintai. Karena cinta bukan hanya soal perasaan. Tindakan dan kata-kata juga diperlukan di dalamnya...