Prolog [Edited]

55.7K 2K 40
                                    

Gambaran masa kecil itu selalu menyenangkan. Entah kamu berekspetasi menjadi putri yang sedang menunggu pangeran berkuda putih, atau seorang peri di negeri fairytale. Tetapi setelah dewasa kamu tau, kamu mengerti bahwa kenyataan itu kadang tak sesuai dengan ekspetasi. Tidak semua yang kamu mau, kamu suka, kamu cinta itu selalu kamu dapatkan. Kamu akan dikenalkan dengan sesuatu yang disebut usaha, dan usaha itu membantu sang pencipta untuk mempertimbangkan keinginanmu.

Kamu tau kenapa Tuhan selalu berkehandak tidak sesuai dengan keinginanmu? Karena tidak semua yang kamu suka, kamu bayangkan akan indah, itu akan berjalan lancar selancar jalan tol jagorawi. Ah ya, mungkin kau merasa rencanamu bagus dan tersusun apik. Tetapi kamu harus ingat, jika dunia sering disebut panggung sandiwara, maka Tuhan adalah sutradara terbaiknya.

Aku ingin menertawakan diriku sendiri karena berlakon sok bijak, padahal sebenarnya aku adalah cewek culun dengan kacamata dan rambut kuncir kuda. Aku tidak pernah memperhatikan penampilanku, padahal masa remaja adalah saat-saat dimana perempuan berlomba-lomba untuk terlihat cantik di depan orang yang dia suka, dan pada saat itu perempuan seringkali mencoba menarik perhatian dengan hal bodoh yang sulit dicerna oleh otak antek-antek sekolah sepertiku ini.

Namaku Tania Salsabilla, Tania sendiri berarti ratu, peri, atau bidadari. Entah apa yang Mama pikirkan saat memberiku nama Tania, apa Mama berharap aku menjadi ratu rimba di belantara Jakarta, atau peri komplek Bukit Pesona tempatku tinggal, atau yang lebih parah adalah bidadari yang salah turun dari langit dan nyusruk ke empang belakang sekolah. Yang jelas, Salsabilla berarti mata air di surga. Tapi kemungkinan untuk menjadi bidadari surga masih terlampau jauh untukku hehe.

Kalau aku tidak populer di sekolah, sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sahabatku, dia satu-satunya teman cowok yang kupunya dengan tingkat kepopuleran di atas ketua OSIS dan jajarannya. Padahal dia hanya murid biasa yang gemar main basket dengan kadar ketampanan yang masih lazim sebagai manusia. Iya, dia tampan dan itu membuatnya terkenal di kalangan perempuan pencinta cogan yang radikal.

Apa kalian tidak penasaran hatiku baik-baik saja jika terus bersama? Jawabannya tentu tidak, memang aku menyukainya, secara diam-diam dan sembunyi, memendamnya sembari menguatkan hati. Dia memang terlihat dekat, namun sangat sulit diraih, seperti langit bukan? Dikelabui jarak semu yang membuatnya seolah dekat, tapi sangat jauh bila ditempuh.

Katanya, menyukai teman memang tiga kali lipat lebih sulit ketibang menyukai orang lain. Yang pertama, kau harus mempertimbangkan tindakanmu agar dia tidak menjauh. Kedua, kau harus tau dimana batasanmu. Ketiga, pilihan apapun yang akan kau ambil tidak ada bedanya, semua terasa salah.

Tapi selama beberapa tahun belakangan yang aku lupa entah sejak kapan, aku bisa mencintainya dengan caraku sendiri.

******

Ruang persegi yang tidak terlalu besar namun muat jika diisi tak lebih dari empat orang dengan material dinding, lantai dan atap yang dibangun dari kayu. Sederhana namun terasa nyaman, apalagi tempat ini sudah menghasilkan beribu memori. Meskipun di luar terik mentari sedang menyorot intens, namun ketika di rumah pohon ini terasa sangat sejuk karena dinaungi pohon rindang besar. Seingatku, rumah pohon ini sudah berdiri lebih dari sepuluh tahun, aku pun masih ingat bagaimana Papa membuatnya hingga menjadi seperti sekarang ini. Tapi saat pertama kali dibuat, rumah pohon ini hanya bisa diisi oleh dua orang. Berhubung aku sudah tumbuh semakin besar, jadi Papa merenovasinya kembali dan jadilah sekarang rumah pohon tempat favoritku, juga Mario.

Mario Yanuar Adiratha, sahabatku sejak menapak usia tiga tahun. Aku lupa bagaimana pertemuan pertama kita, karena pada dasarnya manusia tidak bisa mengingat memori ketika umurnya masih balita. Tapi yang ku ketahui dari Mama, saat itu Mario dan keluarganya baru pindah dari Bandung, dan rumah kami tepat berhadapan. Kami sudah sering main sejak kecil sampai sekarang tumbuh menjadi remaja, bahkan hubungan kami makin erat. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari kami melewati waktu bersama, suka dan duka terlewat begitu saja bagai pemandangan gunung yang dilihat dari kaca mobil.

Friendship Is Never EnoughWhere stories live. Discover now