4. Hujan Bulan Juli

16K 1.2K 6
                                    

Aku melangkah dengan kesal, seperti ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarku saat ini, tapi aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal itu. Yang masih tidak habis pikir, kenapa aku bisa percaya begitu saja pada Nata yang jelas-jelas belum ku kenal tabiatnya.

"Gue kesel, Sel. Bisa-bisanya tuh pan troglodytes membodohi gue." Sungutku yang masih tidak terima.

"Apaan lagi tuh pan trigono—"

"Pan troglodytes, nama ilmiahnya simpanse. Kalo trigonometri, itu salah satu rumus matematika."

Selly menatapku dengan tatapan yang biasa dia lontarkan ketika dia sudah muak dengan istilah-istilah ilmiah yang sudah ku keluarkan.

"Supaya lebih enak di denger aja, biar nggak ngata-ngatain amat. Ngeri ketulah, takut nanti gue yang dikatain simpanse sama orang." Jelasku.

"Bodo amat, Tan. Mau pake nama ilmiah sekali pun, Allah tau lu lagi ngatain orang."

Saat ini kami sedang ada di bawah pohon mangga belakang sekolah, dekat gudang yang konon katanya angker, tapi saat siang bolong seperti ini tidak akan ada hantu yang menampakkan dirinya.

Maaf, ralat. Sebenarnya ada hantu yang selalu menampakkan dirinya saat siang. Dan hantu itu baru saja imigrasi dari New York dan duduk di belakangku. Ah, memikirkannya lagi malah membuat emosiku memuncak.

"Eh, Tan. Tadi gue liat Mario lagi sama cewek cantik banget. Kayaknya anak baru, deh. Bule-bule gimana gitu." Ujar Selly khas emak-emak komplek yang saling sharing informasi tentang penduduk baru. Dan jujur saja, aku langsung merasa kepalaku diisi dengan banyak pertanyaan sehingga aku tidak bisa mencoba menjawabnya satu-persatu.

Aku yakin, gadis yang dibicarakan Selly, dia pasti Andin. Tidak menutup kemungkinan tadi pagi Mario mengantar Andin ke sekolah, dan aku sudah terlalu percaya diri dengan tidak meminta kakakku untuk menjemputku nanti saat pulang sekolah, dan alhasil aku harus memesan ojek online, atau naik bus.

Tapi sepertinya naik bus seru juga, sudah lama aku tidak melakukannya karena sejak Mario memiliki motor pribadi, aku selalu berangkat dan pulang dengan Mario.

Seketika aku jadi membayangkan bagaimana hari-hariku selanjutnya yang nanti tidak akan bisa berangkat dan pulang bersama Mario? Hal sekecil itu, mampu membuat hatiku berdenyut nyeri disergap rasa cemburu. Sangat sulit menyembunyikan luka yang bahkan aku sendiri pun tak bisa memanipulasinya, dan pada akhirnya luka itu terpampang nyata sebagaimana mestinya.

Dan kurasa saat ini Selly sudah mengetahui luka itu.

Selly bersandar di bahuku, seperti seorang gadis yang bersandar pada lelakinya. "Sesungguhnya ku berpura-pura... relakan kau pilih cinta yang kau mau..." dia bersenandung seraya satu tangannya mengusap bahuku yang lain.

"My dearest Tania, it's okay to be not okay."

Aku mengelak. "Gue kuat, kok."

"Udah lah, Tan. Nggak usah—"

"Udah, Sel. Gue masih sanggup suka sama dia dengan cara kayak gini, gue memang secinta itu, dan nggak menutup kemungkinan kalo gue memang bucin yang sejati. Tapi, soal perasaan gue, biar gue yang tangani. Karena gue tau sampai mana batas yang bisa gue lampaui. Cinta itu kan tentang memberi, pemberian yang ikhlas. So, dia membalas ya syukur, nggak juga yaudah."

Selly menghela napas. "Susah gue ngomong sama manusia yang penuh dengan istilah ilmiahnya." Dia tak lagi bersandar di bahuku, dan kini malah beralih menatapku dengan senyum mencurigakan. "Menurut lo... Nata ganteng nggak?"

Aku memandangnya dengan tatapan heran, dahiku mengkerut samar seiring dengan kedua alisku yang tampak berusaha mengikis jarak. "Nggak. Biasa aja." Jawabku santai.

Friendship Is Never EnoughМесто, где живут истории. Откройте их для себя