10. Emosi Yang Meluap

15.3K 1.1K 38
                                    

Berhubung sabtu termasuk dalam jajaran hari libur, jadi sudah tak heran jika jalan besar padat merayap disesaki kendaraan, belum lagi polusi yang mencemari udara dan terhirup oleh manusia. Jika dalam keadaan normal tanpa macet, kami hanya membutuhkan waktu empat jam untuk sampai ke Bandung, tetapi kami harus menempuh perjalanan selama delapan jam untuk bisa sampai destinasi. Di jalan kami sempat berselisih, Nata mengusulkan untuk ke Lembang karena banyak tempat wisata yang bisa di kunjungi, sedangkan Andin ingin ke Trans studio karena banyak wahana yang menarik, Mario juga sempat tertarik saat Nata mengusulkan ke Lembang, dan aku hanya diam saja. Kalau kata anak jaman sekarang, yang penting hayuk. Meluncurrr... Kemana pun tidak masalah, menurutku akan sama saja. Pasti akan sesak juga. Paham, kan?

Dan akhirnya, jadilah kami semua ke Lembang Bandung. Pertama yang kami lakukan adalah menyewa sebuah Bungalow di dekat tempat wisata untuk tempat istirahat, badanku pegal-pegal sekali enam jam berada di mobil. Meski sempat berhenti di rest area, tetap saja pegal melanda seluruh raga.

Mungkin karena terlalu lelah dalam perjalanan, padahal aku tidak melakukan apapun selain duduk dan bertengkar dengan Mario. Aku tidak sadar kalau aku terlelap. Saat aku terbangun, langit sudah mulai menggelap. Aku satu kamar dengan Andin, tapi aku tidak melihatnya di seluruh sudut kamar ini. Aku buru-buru bangun, lalu membalut kaos putih polos yang ku kenakan dengan cardigan spandex berwarna hitam. Karena tempat tujuan pertama adalah Trans Studio Bandung, maka pikirku di sana tidak dingin, justru mungkin terasa tak jauh beda dengan Jakarta, meski lebih sejuk di Bandung. Oleh karena itu aku tidak membawa jaket, hoodie, sweater atau semacamnya.

Aku keluar kamar mencari Mario dan yang lain, aku menemukan Nata yang sedang memotong daging, sosis, dan segala macam perlengkapan barbeque yang terhampar di meja dapur.

"Bahan-bahan ini termasuk fasilitas, kah?" Tanyaku dengan polos.

Nata tertawa renyah. "Nggak, lah. Andin and his boyfriend buy this groceries."

"Kapan? Kok gue nggak tau." Aku berjalan ke arah dispenser yang terletak tidak jauh dari tempat Nata berdiri.

"You such a sleeping beauty."

"Nggak bisa dibangunin gitu, kecuali dengan ciuman pangeran? Yaaah... Susah emang punya jiwa Princess Disney yang bercampur dengan jiwa senoparty."

Nata menyentil dahiku. "Pinter banget halunya."

Aku meringis. "Tangan lo bau ayam, anjir..." Aku melihat Nata dengan tatapan agak heran, karena dia hanya memakai kaos putih dengan celana kolor di atas dengkul berwarna abu-abu. "Lo nggak ngerasa dingin?"

"Ini nggak ada apa-apanya dibanding musim salju."

"Gue hampir lupa, hehehe. Oh iya, ada yang bisa gue bantu?"

"Nope. Gue bisa sendiri. Lo lanjut tidur aja kalau masih ngantuk."

"Gila, nggak etis banget lo pada kerja terus gue enak-enakan tidur. Kalau gue tidur, nanti yang habisin makanannya siapa?"

Saat Nata ingin menyentil dahiku lagi, aku menghindar dengan sigap menghentikan gerakan tangannya. Lalu suara pintu berdecit menginterupsi. Karena dapur hanya bersekat meja panjang, bukan tembok menjulang, jadi pintu masuk utama sangat terlihat jelas tanpa penghalang dari tempat aku berpijak. Menampakkan Mario yang membawa sesuatu di dalam kantong plastik berwarna putih. Aku langsung melepaskan tangan Nata yang tadi sempat ku pegang.

Friendship Is Never EnoughWhere stories live. Discover now