11. Cinta Yang Membebani

14.8K 1K 7
                                    

Seminggu lebih telah berlalu sejak tamasya dadakan bersama Mario, Nata dan Andin. Semua berjalan normal dan menyebalkan, bagaimana tidak? Tangan Mario dan Andin tak pernah lepas seakan mereka punya perekat seperti gurita. Baiklah, aku sedang ada di posisi tidak bisa marah padahal ingin. Jadi ku luruhkan saja semua amarah dengan sisa-sisa logika yang masih menempel dalam otakku.

Hari ini sekolah mengadakan pekan olahraga yang dilaksanakan setiap dua kali dalam setahun, yang artinya satu kali per-semester. Aku terpilih menjadi tim sepak bola putri yang mewakili kelasku sendiri, sebenarnya aku tidak terlalu paham peraturan-peraturan tersebut, tapi demi memeriahkan acara aku ikut serta saja. Ini keputusan yang gegabah, berbekal pengetahuan minim, kuserahkan saja semua dalam doa. Menang kalah tak masalah.

Selama acara, aku tidak bisa menemukan Mario, bahkan ia tidak ada di gerombolan anak kelasannya. Aku juga mencari Andin, tetapi Andin berada di sana dengan rambut di kuncir kuda. Juga jepitan berwarna merah muda yang menghiasi rambutnya. Aku jadi penasaran dimana Mario berada.

Aku menjauh dari kerumunan anak-anak kelasku, aku mencari teman Mario, entah siapa pun yang kutemui lebih dulu, Gheo, Kemal, Vino atau yang lainnya. Aku hanya ingin bertanya, karena firasatku seperti memaksa untuk bertemu Mario.

Aku bisa melihat Kemal yang sedang mengganggu para tim pemandu sorak, aku menghampirinya dan langsung menariknya.

"Pelan-pelan, woy. Agresif bener jadi wanita." Protes Kemal seraya menepuk berkali-kali tanganku.

"Mario dimana?" Tanyaku seraya melepaskan tanganku dari Kemal.

"Di UKS. Tadi katanya lagi nggak enak badan." Jawab Kemal kesal, jadi agak menekankan kata-katanya.

"Oke." Balasku singkat lalu pergi dari sana tanpa basa-basi.

"Hilih, bukan bilang terimakasih." Teriak Kemal yang masih bisa ku dengar meski jarakku sudah lumayan jauh darinya.

Aku langsung menuju UKS dengan berlari, aku sangat takut terjadi sesuatu yang bisa membahayakan Mario. Saat sudah di depan pintu UKS, aku membukanya dengan hati-hati. Hanya ada satu tempat tidur yang tertutup tirai, sedang yang lain tidak. Aku langsung memeriksanya, dan ternyata benar itu Mario.

"Lo sakit? Kenapa nggak pulang aja, sih? Bodoh banget." Kesalku, telapak tanganku menyentuh dahi Mario yang terasa agak hangat. Lalu ku pegang bokongku setelahnya. "Panasnya sama. Pulang, gih. Istirahat. Besok kan ulang tahun, masa sakit?"

"Nggak sakit. Biasa aja, gue abis minum obat." Terdengar suaranya agak sengau, tidak seperti biasanya.

"Gue kepilih main sepak bola cewek. Gue nggak bisa temenin lo terus, dari pada lo bete di sini, mending lo pulang."

"Lo paham cara mainnya?"

"Nggak."

"Jangan tangkap bola dengan tangan kalo lo bukan penjaga gawang."

"Anak seangkatan Rafathar juga paham, Bambang. Udah sana pulang, atau tidur aja. Lo mau makan atau minum sesuatu? Mumpung gue masih banyak waktu, gue yang beliin." Tawarku.

"Nggak usah, gue udah makan tadi. Lo main jam berapa?"

Aku duduk di pinggir kasurnya. "Sekitar tiga puluh menit lagi." Jawabku sambil mengecek lagi suhu tubuh Mario lewat dahinya. "Lo kok bisa sakit, sih?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 01, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Friendship Is Never EnoughWhere stories live. Discover now