1. Perasaan Yang Merepotkan

25.7K 1.4K 37
                                    

Aku tidak tau apa aku benar-benar terlihat menyedihkan saat ini, menyadari tatapan nanar orang-orang yang berlalu-lalang di hadapan kami sudah jelas bukan bahwa aku memang patut dikasihani. Bukan cuma penampilanku yang menyedihkan, tetapi menyadari bahwa aku ini setan di antara dua orang yang sedang bersama. Memang siapa yang mau jadi kambing conge seperti ini?!

Aku menghela napas ketika melihat Andin dengan balutan make up tipisnya yang benar-benar terlihat sangat pas di wajahnya. Terutama bagian pipinya yang bersemu karena blush on, aku menyukainya. Tetapi aku tidak ada rasa penasaran untuk mencoba, membayangkannya saja sudah membuatku bergidik seram.

"Kamu kenapa nggak mencoba ikut test masuk Harvard University? Kamu kan berprestasi, Tan. I know you are smarter than you think, and i believe you can do it." Tukas Andin yang membuatku berpikir seketika. Aku memang ada beberapa rencana mengenai studi ke luar negeri, terutama Jerman. Bahkan Oxford dan Harvard sudah menjadi salah satu incaranku.

"Lagi diusahakan, kok. Kalo kamu ada rencana buat kembali ke sini?" Dalam hati, aku berharap Andin takkan kembali ke sini. Memang jahat, katakanlah aku egois. Tetapi kurasa tak ada seorang pun yang ingin sakit hati berkelanjutan seperti ini, yang membuatnya semakin parah adalah mengetahui kenyataan bahwa aku sulit jatuh cinta dengan orang lain.

"Of course and here I am. Mulai semester ini aku lanjut di Indonesia karena Papa sudah mulai ditugaskan di sini."

Saat ku lihat Mario, dia kelihatan sangat senang mendengarnya. Apa aku harus turut bahagia juga di saat hatiku sudah mulai hancur perlahan? Sebaik mungkin kucoba untuk bahagia seperti Mario, meski hatiku menolak keras, kurasa tubuhku masih bisa diajak kompromi.

"Gimana kalau kita hangout? Kayaknya seru, sih." Usul Mario yang membuatku lemas. Sama saja dia ingin membuatku malu dari ujung rambut hingga ujung jari kaki.

"It sounds good... I think."

"Hm... kayaknya gue pulang aja deh, Yo. Hari ini gue mau bantu Abang gue masalah tugas kerjaannya." Aku hanya memberi alibi, padahal kakakku itu sudah pergi ke tempat kerjanya sejak tadi pagi. Tapi entah Mario menyadari atau tidak, kurasa ada atau tidaknya aku tidak terlalu penting untuknya.

"Yaudah, nanti gue antar lo pulang dulu."

*****

Malam itu menjadi malam yang cerah dengan beberapa bintang yang bertabur di langit, yang ku yakini jika melihatnya langsung dari luar angkasa pasti sudah seperti lautan bintang. Angin malam yang berhembus sejuk membuatku sedang dalam situasi hati yang baik untuk memandang langit, situasi yang baik untuk memandang langit menurutku adalah saat-saat dimana aku ingin sekali melihat Mario, atau singkatnya aku merindukannya. Berlebihan memang, padahal tadi siang kami baru bertemu.

Aku jadi ingat saat pertama kali kami terlentang di bentangan rumput halaman belakang rumahku hanya untuk menghitung bintang, saat itu kami masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, dan kami mengetahui mitos bahwa seseorang yang meninggal akan menjadi bintang di langit untuk mengawasi kita dari kejauhan. Dan kebetulan saat itu kucingku Thor meninggal tiba-tiba yang bahkan aku pun tak tau apa penyebabnya, Kak Tara yang menemukannya tergeletak di depan rumah tak sadarkan diri. Hari itu juga aku mengetahui bahwa Thor meninggal dan langsung menguburnya di tanah yang tak jauh dari rumah. Tepatnya di bawah pohon ceri besar.

Malam itu, aku tidak bisa tidur memikirkan Thor. Berhubung aku merawatnya dari kecil—sejak aku menemukannya di pinggir jalan, kedinginan dan tak berdaya yang mana langsung aku bungkus dengan sapu tangan Mama—dan Thor adalah kucing paling penurut yang aku tau, tentunya sahabatku yang ke dua setelah Mario. Aku menamainya Thor karena aku ingin kucingku bisa sekuat Thor meski dia tak punya Mjolnir, kalau kata Mario sih nama panjangnya Thoriq. Aku menangis saat mengingat bagaimana aku mengubur Thor yang sudah tak bernyawa, itu yang membuatku tidak bisa tidur. Lalu entah bagaimana Mario tau, dia datang menginap di rumahku. Dan malam itu kami sama-sama tidak bisa tidur, dan Mario lah yang menyarankan untuk melihat bintang.

Friendship Is Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang