6. Tangga dan Nasi Goreng

16.6K 1K 8
                                    

Sepanjang perjalanan dari SMA Kartini menuju rumah, Mario tak banyak bersuara seperti biasa. Aku mencoba mencari topik pembicaraan, tapi dia menjawabnya dengan singkat, sampai aku bingung sebenarnya apa yang terjadi pada Mario.

Langit menggelap, suara adzan mulai berkumandang dari berbagai masjid yang ada di sekitar jalan ini. "Yo, mampir dulu. Shalat, yuk!" Aku menepuk pelan bahunya, dia hanya mengangguk.

Motornya berhenti di parkiran masjid pinggir jalan. Dia masih bungkam ketika turun dari motor hingga berjalan begitu saja ke tempat wudhu tanpa melihat ke arahku, aku masih tidak mengerti hingga aku terjebak pertanyaan dalam benakku sendiri.

Usai shalat, aku mengembalikan mukena yang sempat ku kenakan ke tempat semula. Lalu berjalan keluar untuk segera pulang mengingat langit sudah gelap, baterai ponselku habis sehingga aku lupa memberi kabar pada Mama. Jadi kurasa aku ingin cepat pulang agar beliau tidak khawatir denganku. Aku melihat punggung Mario yang duduk di pinggir teras masjid sedang memakai sepatunya.

Aku langsung menghampirinya untuk menyusulnya memakai sepatu, aku duduk di sampingnya tanpa menatap wajahnya sedikitpun. Jika Mario sedang menyeramkan seperti ini, sebenarnya aku tidak pernah takut. Karena jika sedikit ku ajak bercanda, maka Mario akan kembali normal. Namun yang melekat di benakku adalah, apa yang membuatnya tiba-tiba berubah seperti ini? Seingatku, dia tidak punya alasan untuk bersikap seperti ini padaku. Memangnya aku melakukan kesalahan? Atau aku memang melakukan kesalahan yang tidak kusadari? Aku mencoba mengingat kejadian tadi tanpa kulewatkan sedikit pun, tapi aku tidak menemukan letak kesalahanku.

"Lo sedekat itu sama Nata?"

Pergerakanku mengikat tali sepatu berhenti begitu saja. Aku menatapnya tidak paham, manik hitam gelap itu menusukku, jarak alis tebal yang menaungi mata teduhnya semakin mendekat akibat dia mengernyitkan dahinya.

"Nggak juga, dia aja yang gila. Sinting." Sungutku dengan emosi menggebu seraya menatapnya tidak terima atas pertanyan yang baru dia ajukan itu.

Mario mengusap kepalaku. "Nggak boleh gitu sama orang yang mau deketin lo. Gimana mau punya pacar coba?" Dia mulai tersenyum, suaranya pun sangat lembut bak seorang kakak yang sedang menasehati adiknya. Aku sering melakukan kontak fisik dengan Mario, namun aku tidak tau tiap kali kulit kami bersentuhan, jantungku berdegup seperti sedang terselenggaranya konser megah.

"Ya tapi bukan berarti harus dia juga. Emang seandainya gue mau punya pacar, gue nggak bisa memilih, gitu?" Benar juga asumsiku sejak tadi, pasti dia sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendekatkan aku dengan manusia sinting itu. Aku jelas menolak keras jika itu sampai terjadi.

"Emang dia kenapa? Dari cerita Andin, kedengarannya Nata baik."

"Lo nggak bisa menilai seseorang hanya lewat cerita. Bagi Andin memang baik, karena Nata adalah Kakaknya. Wajar kalo dia memperlakukan saudaranya dengan sangat baik."

"Tapi apa lo nggak mau coba mengenal Nata lebih jauh?"

"Nggak. Lagian mana mungkin dia suka sama cewek yang modelannya kayak gue."

"Emang lo kenapa? Ada masalah apa dengan diri lo?" Nada suara Mario meningkat lebih tinggi, membuatku menciut seketika. "Itu salah satu sifat lo yang paling gue benci. You're just hoping someone will see how amazing you are, and hope someday they'll choose you. Sedangkan lo sangat insecure terhadap diri lo sendiri. Bukan begitu cara kerjanya, Tania."

Friendship Is Never EnoughWhere stories live. Discover now