8. Hadiah

16.2K 1.1K 16
                                    

"Oh, shit! Apa gue terlalu awkward?" Tanya Mario yang masih membuatku tidak mengerti. Aku belum sempat menjawab penawarannya untuk menjadikanku pacarnya itu, namun dia malah bertingkah gugup.

"Iya, ini terlalu... gimana, ya?"

"Sama lo aja masih gugup, gimana gue mau bilang ini ke Andin?"

Deg.

Aku tertegun, dengan mata mendelik tidak percaya. Aku seperti tidak merasakan detak jantungku sendiri. Mario tau betul teknik menerbangkan angan setinggi-tingginya, lalu dijatuhkan sejatuh-jatuhnya.

Jadi, yang tadi itu cuma latihan? Seharusnya aku sudah bisa memperkirakannya, lalu dengan hayalan babu aku berharap Mario akan mencintaiku begitu saja, tapi lagi dan lagi kenyataan seolah menamparku telak.

"Oh, jadi lo berencana buat nembak Andin?" Tanyaku menahan getir.

"Iya, tapi mungkin sekitar dua atau tiga hari dari sekarang."

"Kenapa gitu?"

"Harus menciptakan momen yang pas dan tak terlupakan."

Aku menelan ludah mendengarnya. Nyatanya, Andin memang selalu se-spesial itu.

"Oh gitu, yaudah semoga sukses!" Aku terpaksa mengangkat sudut bibirku, meski rasanya sangat sulit.

Seharusnya aku tau, dia memang tidak pernah membalas perasaanku, dia hanya menganggapku seorang sahabat dan tidak lebih. Seharusnya aku sadar, perasaan ini adalah awal dari genderang perang. Sekuat apapun tameng yang ku pasang, tetap saja dia mampu meruntuhkannya.

Jadi, siapa yang salah? Dia yang terlalu baik atau aku yang terlalu berharap? Dia yang memberiku kenyamanan atau aku yang tidak tau diri?

Rasanya seperti kehilangan, padahal belum pernah memiliki. Rutukku dalam hati.

*****

Nata : gue di depan rumah lo.

Minggu pagi adalah waktu dimana aku bisa bersantai menghabiskan waktu seharian dengan tempat tidur kesayanganku, itu pun jika tidak pergi keluar jalan-jalan dengan Selly atau Mario.

Tapi minggu pagiku mendadak horor ketika mendapat pop up pesan menyeramkan yang kubaca sekilas tanpa membukanya. Berhubung kamarku berada di lantai atas, aku bisa memastikan apakah Nata memang sedang menungguku di luar dengan motor besar kebanggaannya. Aku langsung bperanjak menuju jendela dengan tirai yang masih tertutup, padahal jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan.

Aku melihat motor putih Nata yang terparkir di depan gerbang rumahku. Aku meringis mengetahui dia tidak berbohong, salahku juga sempat setuju diantar pulang olehnya.

Ponselku berdering. Aku melihatnya. Dan ternyata itu panggilan dari Nata.

"Halo..."

"Halo, Tan. Gue di luar, nih. Lo tega membiarkan orang tampan menunggu begitu lama?"

"O-oke... tunggu. Gue ke bawah." Aku langsung memutuskan sambungan telepon tersebut, dan nekat keluar dengan piyama yang masih ku kenakan.

Baru saja aku menuruni tangga, langkahku terhenti ketika kerah piyamaku di tahan oleh seseorang. Aku berusaha berbalik untuk melihat.

Friendship Is Never EnoughWhere stories live. Discover now