Berdua Menantang Maut

23K 3.5K 267
                                    

Dengan memaafkan, kau akan merasa tenang.

Ucapan ibunya terus mengiang di kepala Ardela. Dia bukan tipe pembenci, tapi dia sulit memaafkan orang lain. Apalagi jika berurusan dengan bagian terpenting dari dirinya... hati. Dia mempercayai El untuk menjadi teman barunya sampai pistol itu ditodongkan ke keningnya.

Ya, El menempati urutan pertama di daftar Orang Yang Ingin Ardela Cekik. Namun kenyataannya, Ardela mengendap-endap ke tenda El sekarang. Berjalan perlahan di atas salju melewati kabin lalu menyelinap di belakang tenda barang. Sudah siap dengan ransel berisi buah manggis, air minum, tali dan peta.

Dia bersembunyi di balik pohon, mengintip. Dua laki-laki berdiri menjaga pagar, mata mereka fokus ke padang salju gelap. Dia pun melangkah perlahan dan nyelonong masuk tenda.

El sedang duduk di jok pesawat, mengasah tombak dengan batu. Dia hanya menatap Ardela datar lalu kembali mengasah.

"El, kau masih ingin membunuhku?"

Dia menoleh, mengerutkan kening. "Untuk sekarang sih tidak."

"Bagus, kau ikut aku, waktu kita hanya sepuluh jam."

"Kenapa harus aku? Kau 'kan punya pengawal," balasnya. "Sepupumu dan Damar."

"Mereka menyayangiku, mereka tak akan membiarkanku pergi."

El tersenyum masam lalu mengangkat kedua tangan. Dia segera mengambil ransel, pisau lipat dan tombak di sebelah joknya. Mereka bertatap sejenak, merasakan ketegangan yang memenuhi udara. Kemudian melangkah keluar tenda.

Mereka berdua berhasil melewati tenda dan kabin tanpa ketahuan. Pagar belakang dijaga Gilen dan Juna, sepertinya El bisa menangangi mereka. El dan Ardela bersembunyi di belakang kabin, melangkah perlahan menuju pagar.

Tiba-tiba... "Hey, kalian mau kemana?" tanya Disty. Dia menahan ransel mereka berdua.

"Kami harus ke bunker sekarang," balas Ardela. "Kumohon, jangan beritau yang lain apalagi Dirga."

Disty menatap mereka berdua bergantian. Lalu menyerahkan sebuah senter untuk El dan inhaler untuk Ardela. "Baiklah, tapi kalian harus cepat," bisiknya. "Dan please, jangan bertengkar atau saling membunuh di luar sana."

El mengangguk ke Disty dan tersenyum, dokter itu langsung memalingkan mata. Ardela bisa melihat pipinya memerah di bawah cahaya bintang. Disty pun menyuruh mereka berangkat dan berjanji akan menenangkan Dirga atau Damar yang ngamuk mengetahui Ardela pergi.

Mereka berdua mengangguk ke Gilen dan Juna saat melewati pagar. Langsung menyiagakan mata dan tombak saat menginjak padang salju liar.

***

Ini jam makan malam kanibal.

Di depan ada El, menyenter menembus gelapnya barisan pohon dan salju yang berjatuhan. Ardela di belakang, mendangak ke puncak pepohonan memastikan tak ada kanibal. Langit hitam pekat seakan dicakar ranting-ranting di puncak pohon. Sesekali terdengar sesuatu menggores batang pohon, adapula suara auman menggema di kejauhan, tapi mereka tetap maju. Waktu tinggal sembilan jam.

El melompati batang pohon yang menghalangi jalan. Dia menyodorkan tangan ke Ardela, tapi dia menggeleng. Bukannya minggir, El malah meraih pinggangnya dan mengangkatnya melewati batang pohon seakan ia tidak berat sama sekali. Ardela pun lanjut jalan tanpa mengatakan apapun.

Pepohonan semakin rapat dan akar tebal merambat meliuk-liuk di atas salju. Mereka melompati akar-akarnya tanpa berpegangan. Lumut berpendar menempel hampir di setiap pohon.

Tik! Tik! Sesuatu menetes ke kening Ardela, mengalir melewati hidungnya. Terasa dingin dan berbau amis. Dia menoleh ke atas, tapi El menarik wajahnya hingga ia menatap kedua mata itu.

Di Bawah Nol (Book 1)Where stories live. Discover now