Reruntuhan

17.3K 3.3K 26
                                    

Tim Ardela

Pagi tiba dan badai salju berhenti.

Efek plum ceri gila itu sudah hilang. Semua orang kembali normal dan saling bermaafan. Termasuk Sagita dan Gibran yang berlutut memohon maaf ke Ardela. Setelah merapihkan barang dan membuang semua plum ceri yang tersisa, mereka meninggalkan kemah.

Berkat tidur cukup, harapan mereka terdaur ulang dan mata lebih fokus melihat arah tujuan. Setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih ringan karena yakin dengan kemana mereka melangkah. Bahkan awan kelabu yang bertumpuk di langit tak membuat hati mereka ikut mendung.

Aksa memainkan harmonikanya. Gibran mulai mendengangkan lagu yang liriknya berasal dari alinea motivasi Graha. Oke juga. Semua orang ikut bernyanyi sambil tersenyum, sesekali melambai-lambai. Nyanyian ini membuat mereka sejenak melupakan kesedihan yang bersarang di hati.

Ini hampir tengah hari.

Menurut peta, seharusnya mereka sudah memasuki kota mati lagi. Ya, mereka memang memasuki kota mati. Yang ini agak berbeda.

Di depan mereka terhampar sisa bangunan yang semuanya sudah rubuh. Gedung-gedung tinggi nampak tergeletak menimpa satu sama lain dan barisan jendelanya rata dengan salju. Puing-puing beton raksasa mencuat di mana-mana. Tak ada jalan yang rata, mereka harus melewati reruntuhan kota itu.

Sagita bilang jarak ke ujung reruntuhan sekitar tiga kilometer. Dia bisa melihat padang salju halus di kejauhan.

"Kita tidak akan tau apa yang kita injak," kata Ardela. "Bisa saja jatuh dan tak tau seberapa dalam."

"Jadi gimana?" sahut Juna. "Mau piknik saja di sini?"

"Kita maju. Lebih baik mengambil resiko daripada berdiam di sini." Lalu dia menoleh ke rombongan. "Siapkan tali di tangan kalian! Fokus dan jangan takut!"

Setengah jam pertama berjalan lancar sekaligus melelahkan. Mereka berjalan melewati dua gedung runtuh yang bersilangan, memanjatnya satu persatu. Tangan-tangan berpegangan ke tali sementara Dirga dan Juna berjaga di atas dan membantu menarik.

Rintangan berlanjut. Mereka merentangkan kedua tangan, menjaga keseimbangan ketika melangkah di atas tiang besi menuju gedung di sebrang. Puing-puing beton berserakan belasan meter di bawah mereka. Sagita dan Windra-laki-laki berwajah timur tengah itu-berdiri di tepi gedung sana, membantu penyebrang turun.

Iren terdiam. Kedua matanya dipenuhi ketegangan melihat kaki-kaki melangkah di atas tiang besi. Bibirnya terkatup rapat seakan menahan jerit ketakutan di baliknya. Dia mengejang saat Ardela memegang pundaknya.

"Kau terlihat tak bersemangat," kata Ardela.

Dia melirik leg brace di kakinya. "Ya, aku kurang suka ketinggian."

"Aku juga," balasnya. "Tapi di sini rasa takut adalah musuh kita. Hadapilah."

"Elvan pernah mengatakan itu padaku." Iren terdiam sejenak. Menyebut nama itu membuat berbagai emosi meledak di balik matanya. Marah, benci dan rindu.

Ardela menginjakkan kakinya ke tiang besi. Lebarnya hanya dua jengkal dan dipenuhi karat. Dengan beberapa tarikan napas panjang, ia berhasil berdiri tegak di atasnya. Sagita melarangnya melihat ke bawah, tapi ia langsung menoleh ke bawah. Seakan tubuhnya melayang melihat puing-puing tajam jauh di bawah sana.

"Aku lebih kuat dari rasa takut," bisiknya sangat pelan. Dia merentangkan kedua tangan dan melangangkah.

Ngik! Jantungnya seketika loyo mendengar decit-decit besi di bawah kakinya, tapi ia sudah di tengah, tak bisa mundur lagi. Angin bertiup kencang, menerbangkan rambutnya hingga menutupi wajah. Kakinya merinding, dia pun mengkokohkan badan agar tak ikut terbang. Matanya fokus pada lencana berbentuk sepasang sayap di mantel Sagita. Rasa lega seketika memeluk jantungnya saat ia menapakkan kaki di atap gedung.

Sekarang giliran Iren. Tubuhnya gemetar menahan rasa takut, bahkan ia oleng di langkah pertama. Bunyi decit membuatnya memejam panik dan ia merunduk hendak jongkok.

"Tinggi banget... aku enggka bisa!" teriaknya.

"Hey, lihat aku!" kata Ardela. "Berdirilah dan fokus padaku. Kau berhasil bertahan sampai sekarang, kau kuat. Ini bukan apa-apa."

Iren kembali berdiri, mencoba melangkah dan menarik kaki kanannya. Bibirnya gemetar mendengar bunyi decit itu. Dia berhenti lagi, menggeleng ke Ardela.

"Tadi aku bilang apa? Fokus padaku!" teriaknya. Dia nyengir lebar saat Iren melangkah lagi. "Iya, kau bisa. Coba pikirkan hal lain!"

"Satu-satunya yang ada di otakku hanya... puing-puing di bawah sana."

Ardela mikir keras. "Teruslah melangkah! Umm... jika aku sakit batuk, obat apa yang paling cocok untukku?"

Iren berpikir sambil terus melangkah. "Ter... tergantung batuk jenis apa yang kau alami dan seberapa parah." Dia terus melangkah. "Untuk batuk produktif atau berdahak, tentu saja kau harus meminum ekspetoran dan ditambah antibiotik jika perlu. Kalau tidak kunjung sembuh dalam jangka panjang, ya harus periksa lebih jauh, seperti ronsen paru-paru. Mungkin saja itu gejala bronkhitis atau pneumonia. Kalau batuk tidak produktif atau tidak berdahak seperti alergi, kurasa bisa dengan obat alergen, tapi aku bukan dokter, Del! Aku... hanya anggota PMR."

Dia terkejut melihat tangan Ardela meraihnya. Lalu ia berpijak di atap gedung dengan mata melebar penuh rasa tak percaya. Dia pun memeluk Ardela sangat erat.

"Ya, kau berhasil, Dok."

---

Thanks for reading!! Akan diupdate tanggal... enggak deng, ada satu chapter lagi udah kuupdate spesial untuk readers kesayanganku hehe :D

Di Bawah Nol (Book 1)Where stories live. Discover now