Runtuh

19.8K 3.4K 191
                                    

Hari Rabu, dua tahun lalu. Dokter Kandi mengadakan penyuluhan untuk anak-anak kelas dua belas. Beliau bilang, obat kimiawi tidak selalu menjadi faktor utama kesembuhan pasien. Ada obat lain, semua orang mempunyainya. Namanya dukungan.

Seampuh apapun suatu obat, tak akan berhasil tanpa dukungan. Terutama dukungan orang-orang terkasih pasien. Bisa berupa apapun... doa, sentuhan, atau duduk di dekatnya.

Dulu Ardela menganggap dokter Kandi berlebihan, tapi sekarang ia setuju. Aksa sadar dari koma bukan hanya berkat antibiotik, tapi karena kehadiran teman-teman sektor seni juga. Ditambah, Ardela memaksa Damar melepas radio dari kokpit dan membawanya ke telinga Aksa.

"Aksa... ini aku. Kau baik-baik saja?"

Suara lembut itu membuat kebahagiaan meleleh di mata Aksa. "Sh... Sheryl," katanya. "Ya, aku baik-baik saja. Pahlawan berhati malaikat menolongku." Dia melirik Ardela, mengatakan terimakasih tanpa suara.

Ardela mengangguk lalu keluar kabin. Ia menghela napas panjang. Menolong Aksa bicara dengan Sheryl membuatnya senang sekaligus bete.

El bersama Juna nampak menarik kontainer berisi senapan ke tengah kemah. Semua orang pun mengerubunginya diiringi bisik takut dan senang yang bercampur.

El mengangkat satu senapan, kerumunan bertepuk tangan dan bersorak-sorak penuh semangat padanya. Dia berbicara lantang tentang latihan menembak bagi mereka yang terpilih untuk pos jaga. Ada sekitar sebelas orang.

Dia melirik Ardela yang melipat tangan di dada lalu kembali bicara. "Siapapun yang menyalahgunakan senapan, berurusan denganku!"

Sebelas orang berbaris—termasuk Dirga. El menaruh sasaran berupa kayu yang ditancap ke salju. Mereka pun memperhatikan.

Dia memegang senapan dengan dua lengan berotot itu, terlihat begitu pas. Level kegagahannya seketika naik, bahkan gadis-gadis di belakang tersenyum centil padanya. Mata tajamnya mengitip ke scope lalu ia menekan pelatuk. Timah panas pun membolongi pinggir kayunya.

Satu persatu mencoba menembak. Hanya mendapat sekali giliran demi menghemat peluru. Beberapa orang kacau tak bisa membidik, bahkan pelurunya bermentalan ke atas. Ada yang gemetar duluan sebelum menembak. El sempat pusing.

Disty keluar kabin. Matanya tak kunjung lepas dari El yang sibuk membimbing dengan suara baritone itu. Dia senyam-senyum sendiri dan berkali-kali membenarkan kacamata.

"El!" panggil Ardela. "Kurasa dokter kita ingin mencoba. Mungkin dia sekeren James Bond."

El mengangguk, membuat Disty seketika kebakaran jenggot.

"Del... siapa itu James Bond?!" Dia mencengkram pundak Ardela. Ekspresi bahagia dan panik melebur di wajahnya. Ardela malah nyengir lalu mendorongnya sedikit, dia pun melangkah menghampiri El.

Disty ditaruh di barisan depan. El bilang senapan khusus untuk laki-laki, jadi ia mendapat pistol. Ekspresinya langsung panik, tangannya gemetar saat mengangkat pistol. El pun berdiri di belakang Disty memegang kedua tangannya dan mengarahkan ke sasaran. Tak tau kenapa Ardela nyengir puas melihat mereka.

Disty berteriak ketika peluru ditembakkan. Bukannya takut, dia malah diam terpana lalu tertawa.

"Giliranmu, Nona Penjaga!" kata El.

Sebenarnya Ardela belum pernah menembak, tapi sering mengintip ayahnya saat berlatih di sektor pertahanan. Dia pun melangkah, semua orang langsung menatapnya. El menyodorkan pistol, tapi Ardela mengangkat satu alis lalu mengambil senapan Dirga.

"Awas, itu bukan untuk gadis manja kesayangan papa Penjaga," kata Juna dari barisan. Sebaris laki-laki itu pun tertawa.

Ardela tersenyum tipis. "Kau berani ya. Kemarilah, pegang sasaran untukku."

Di Bawah Nol (Book 1)Where stories live. Discover now