Menunggu

16.2K 3.2K 166
                                    

Orang bilang menunggu adalah bagian terburuk. Tidak, bagi Ardela, bagian terburuk adalah setelah menunggu cukup lama dan seseorang yang dinantikan tidak kunjung datang. Itulah saat dimana keyakinan goyah kemudian berbagai pikiran buruk mulai datang.

"Komandan, kau tertinggal!" panggil Juna jauh di belakang.

Ardela berdiri di tengah padang salju penuh keheningan. Sementara rombongan sudah puluhan meter mendahuluinya. Dia berdiam, memandangi garis dataran salju di kejauhan bersentuhan dengan langit kelabu.

Tangannya menggenggam elang perak yang ia kalungi. Sepanjang pagi dia mencari tali untuk membuat kalung. Dia pikir elang itu lebih aman dikenakan lehernya daripada di senapan.

Menurut perhitungan Sagita seharusnya tim HOPE II sudah menyusul, apalagi tim HOPE I sempat berkemah dua hari. Ardela begadang sampai pagi menunggu mereka, namun tak ada siapapun yang datang. Dia masih memandangi kejauhan, berharap seseorang—selain kanibal—muncul. Berharap melhat kedua mata setajam dan sehangat cahaya matahari itu.

"Menunggu dia ya?" Juna berdiri di sebelah Ardela, memikul kampak. "Dia mungkin sudah sampai duluan dan sedang kencan dengan gadis lain."

"Pergilah," balas Ardela tanpa menoleh.

"Kenapa sih kau memikirkannya? Bisa saja dia tak memikirkanmu."

Sebuah pintu di otak Ardela terbuka. Untuk sejenak dia tenggelam memikirkan omongan Juna yang mungkin ada benarnya, tapi ia berdehem dan kembali fokus. "Bukan hanya Elvan yang kupikirkan, tapi mereka semua. Tim pencari sekaligus penumpang HOPE II."

Juna malah cengengesan. "Aku enggak bilang kalau dia yang kumaksud adalah Elvan," jawabnya. "Tak apa, rahasiamu aman kok."

Rasanya Ardela ingin menjejalkan kampak itu ke hidungnya. Dia menoleh, menatap tajam seakan sedang mencabik-cabiknya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?"

"Ya, kau juga harus pergi, sebelum tertinggal makin jauh," balasnya. "Aku enggak mau repot mencari kalau kau hilang."

Irama harmonika mengiringi langkah mereka, musik membuat pikiran teralihkan dari rasa dingin dan dari kenyataan bahwa mereka tak tau sampai kapan harus berjalan. Di depan hutan tinggal dua ratus meter di depan, mereka pun menyiapkan senjata masing-masing.

Hanya ada suara langkah kaki mereka berdebum di atas salju. Karena Aksa mengganti harmonika di tangannya menjadi tombak. Dia belum berani menggunakan senapan.

"Kau tak bisa membawa tombak sambil main harmonika?" tanya Iren. Dia melangkah di sebelah Aksa, siap dengan pisau lipatnya.

Aksa tertawa kecil. "Aku takut saat bertemu kanibal malah melempar harmonika, bukan tombak."

Iren ikut tertawa dengan suara kekanak-kanakannya. "Oh iya, kudengar kau akan punya bayi. Aku suka bayi," katanya. "Berapa lama lagi?"

Aksa komat-kamit menghitung. "Sekitar dua bulan lagi." Kemudian terkejut mendengar jawabannya sendiri. Itu sebentar lagi, sementara ia tak tau sampai kapan akan jalan-jalan di padang salju.

"Laki-laki atau perempuan?"

"Belum tau," jawabnya. "Aku belum mengajak Sheryl USG karena biayanya super mahal, tapi kurasa laki-laki."

Mata Iren melebar penuh rasa penasaran. "Darimana kau tau?"

"Umm.. karena Sheryl mendadak tidak suka warna pink."

Kemudian mereka tertawa. Ardela yang nguping di depan pun tersenyum tipis. Beberapa tahun lalu dia berkhayal suatu saat akan mengobrolkan topik itu dengan Aksa, hanya saja dalam situasi yang berbeda. Tak disangka keadaan bisa berubah begitu cepat. Realita jauh dari yang ia bayangkan, namun ia tetap ikut senang karena dia juga suka bayi.

Dia kembali fokus. Pepohonan semakin dekat, batang-batang kehitaman menjulang memagari mereka sejauh mata memandang. Dia pun mengarahkan senapannya ke depan dengan telunjuk siap di pelatuk. Semua penembak di belakang ikut bersiaga.

Tiba-tiba..

"Ada yang mendekat!" teriak seseorang di paling belakang.

Semua orang membeku di tempat. Kepanikan mewarnai wajah mereka, teriakan seperti itu tak pernah berarti baik. Sebagian berbalik sambil berbisik was-was, tapi mereka bilang tak melihat apapun. Ardela pun menyuruh semuanya tetap di tempat dan menyiagakan senjata.

Para penembak, termasuk Ardela berlari ke belakang. Mereka menatap kejauhan melalui scope di senapan, tapi tak terlihat apapun. Selama sepuluh detik hanya ada keheningan diselingi deru angin. Di kejauhan hanya terlihat padang salju kosong. Hanya kosong sampai mata Ardela menangkap sesuatu.

"Di sana!" teriaknya. Semua serempak menyiagakan telunjuk di pelatuk. Dia pun memfokuskan mata kanannya melihat sesuatu yang bergerak di kejauhan itu.

Terlihat seperti manusia, kurus dibalut mantel hitam. Ardela sempat mengira itu kanibal, tapi kulitnya tidak pucat dan.. ada senapan diselempangkan di tubuhnya. Orang itu berlari terengah-engah dengan kedua tangan dilambaikan tinggi-tinggi.

Semakin lama orang itu terlihat semakin jelas. Wajahnya bulat dan ia mengenakan kacamata berbingkai hitam. Ardela seketika melotot dan mengangkat tangan ke para penempak di sebelahnya. "Tahan tembakan!" teriaknya. "Itu Damar!"

"Kau yakin?" tanya Dirga.

"Iya! Aku selalu tau dia."

Damar berlari sambil melambai-lambai. Kelegaan terpancar di mata Ardela melihat kerumunan yang berlari di belakang Damar. Tentu saja itu bukan kerumunan kanibal, karena di paling depannya terlihat gadis berkulit putih susu itu. Ia melambai tinggi sampai tubuhnya melompat. Yang lainnya nampak ikut melambai ke arah tim HOPE I.

"Itu mereka!" teriak Dirga di sela-sela cengiran. "Mereka bersama penumpang HOPE II."




---

Hi, my awesome readers! Thanks for reading dan jangan lupa vote yaa. Ada satu chapter lagi untuk kalian :D

Di Bawah Nol (Book 1)Where stories live. Discover now