Sosok Lain

23.5K 3.2K 206
                                    


Suasana sangat kacau.

Terdengar suara desing mengelilingi Ardela, seperti sesuatu yang meluncur cepat dan menancap pada tubuh seseorang. Kemudian disusul suara teriakan—teriakan meminta tolong sambil menangis, seakan ia disiksa rasa sakit. Ardela hendak menoleh ke belakang lagi, tapi El menahan kepalanya hingga tetap mengarah ke depan.

Mereka berdua berlari mendaki tanjakan tanah. El masih melindungi Ardela di bawah dekapan sembari menariknya agar berlari lebih cepat. Setelah sampai atas mereka berlari zig-zag di antara pepohonan, melewati setiap pohon dan berbelok-belok dengan cepat.

Tubuh Ardela terasa lengket. Keringat juga mengalir dari kening hingga membasahi pipinya. Rasa panas mengurung tubuhnya bagai memeras air untuk keluar dari pori-pori kulitnya. Ternyata ini yang disebut berkeringat, terasa aneh sekaligus menyenangkan. Akan lebih menyenangkan kalau alasan berkeringat ini bukan karena dikejar pembunuh.

Dar! Suara tembakan terdengar beberapa kali, dekat tapi tak pasti di mana. El pun menarik pistol dari saku belakang. Ia mengokang peluru dan membidik dengan satu dengan, tetap sambil berlari.

"Di mana senapanmu, El?"

"Kupinjamkan ke Pandu. Kukira enggak akan membutuhkannya lagi." Satu tangan El mendekap Ardela, satunya lagi mengarahkan pistol ke depan. Matanya bergerak-gerak cepat mencari arah datangnya panah.

"Kau masih membawa pisaumu, 'kan? Berikan padaku, aku akan membantumu."

El mendekap Ardela semakin erat. "Yang perlu kau lakukan hanya berlari dan tetap bersamaku." Ketegangan memenuhi suaranya. "Aku akan menjagamu."

"Tapi aku bisa—"

"Kau memang lihai menggunakan senapan, tapi aku ragu kau bisa melawan mereka dengan pisau," balas El. "Lagipula aku kehilangan pisauku saat kita kencan tadi."

Ardela menjerit melihat panah melesat dan menancap di batang pohon, lima senti dari kepalanya. Dari pemindaian singkat, panah itu terbuat dari kayu berwarna hitam, berbentuk panjang dengan buntut persegi berhias bulu hitam. Nampak rapih seperti dibuat dengan perlahan dan telaten, tidak mungkin buatan kanibal.

Panah-panah yang sama berdatangan menghujani tim HOPE. Arahnya dari puncak pepohonan. Ardela memfokuskan matanya ke setiap pohon yang ia lewati. Dia pun melihat sebentuk tubuh bersembunyi di antara rindang dedaunan, memegang busur dengan panah terarah ke bawah. Ia sempat mengira itu kanibal, tapi kulit mereka tidak pucat, malah berwarna kecoklatan.

"Awas!" El menarik Ardela. Panah berbuntut hitam itu menancap sejengkal dari kakinya.

Kemudian sesuatu melesat di sebelah El dan menggores pundaknya, seketika ia meringis. Lengan bajunya sobek, nampak segaris luka di baliknya yang meneteskan darah. Ardela menatap penuh khawatir, tapi El menariknya kembali berlari seakan tak kesakitan sama sekali.

Suara teriakan terdengar bersahutan dari segala arah, disusul tubuh-tubuh berjatuhan. Ardela tak bisa melihat jelas karena terhalang pepohonan. Hingga ia melihat sesuatu, panah melesat entah berantah dan menancap di punggung seseorang, tepatnya di balik pepohonan belasan meter dari Ardela.

Cowok putih bermata sipit itu itu batuk menyemburkan darah kemudian jatuh berlutut dengan panah mencuat dari punggungnya. Dia membuka mulut berusaha bicara, namun yang keluar hanya tetesan darah.

"Gilen," bisik Ardela sambil berlari. "Gilen tertembak panah!"

"Panah itu mengenai jantungnya dari belakang, Del," balas El ditengah napasnya yang terengah-engah. "Kita tak bisa berbuat apapun untuk menolongnya."

Ardela kira tadi adalah bagian terburuk, ternyata bukan. Sesosok berpakaian serba coklat melompat dari pohon dan mendarat tepat di belakang Gilen. Mata Ardela melotot saat sosok itu menarik parang bergagang hitam dari holster kulit di pinggangnya. Tanpa ragu sosok itu menusukkan parangnya sampai menembus dada Gilen. Seketika Gilen jatuh tengkurap di atas rerumputan, matanya membuka kaku dan lemah.

Di Bawah Nol (Book 1)Where stories live. Discover now