#4: Kehancuran

215K 9.7K 639
                                    

Rea berjalan pasrah menuju tempat parkir di mana mobil Adrian bertengger tenang. Pikirannya masih dipenuhi dengan percakapannya yang terputus tadi dengan Vino.

Ia tidak bisa menghubungi Vino jika Adrian masih ada di dekatnya. Tapi ia tahu pasti, saat ini Vino pastilah sedang berusaha mati-matian untuk kembali menghubungi Rea, sementara ponsel Rea sudah sejak tadi ia nonaktifkan.

Ketika langkahnya sudah sampai di samping mobil yang dituju, Adrian bergegas membukakan pintu untuk Rea, terlihat romantis dari kejauhan.

Adrian lantas meminta ijin untuk menelepon Dika lebih dulu saat tubuh Rea sudah duduk tenang di dalam mobil. Rea mengangguk menyilakan.

"Halo Dik," panggil Adrian ketika suara Dika sudah terdengar di ponselnya.

"Iya, bos aku tahu, kau mau mengantarnya pulang bukan?"

Adrian tersenyum mendengar itu. "Maaf ya, Dik."

"Iya bos, santai saja. Semoga kau baik-baik saja bersama istrimu ya."

Adrian lagi-lagi tersenyum, lantas mematikan teleponnya setelah memastikan Dika tidak akan mencarinya lagi.

Dari kejauhan, Dika bisa melihat betapa bahagia bosnya saat ini. Sebagai bawahan yang baik, ia hanya bisa mendoakan kalau atasannya akan mendapatkan kebahagiaannya sendiri.

Sepanjang perjalanan, Adrian lebih memilih untuk berkonsentrasi pada menyetirnya. Sementara Rea terlihat begitu gelisah.

Adrian menyadari itu, tapi ia enggan bertanya. Ia tidak tahu harus bertanya dari mana. Karena jika kegelisahan Rea ada hubungannya dengan alasan dia menangis saat hari pengantinnya. Maka itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Adrian bungkam, masih belum saatnya bagi Adrian untuk mencampuri urusan pribadi Rea.

Jadilah, sepanjang perjalanan keduanya saling mengunci mulut masing-masing, sampai rumah mewah Adrian mulai terlihat.

***

Hal pertama yang dirasakan Rea ketika turun dari mobil Adrian adalah perasaan benci luar biasa. Lihatlah, di teras rumahnya sekarang berdiri salah satu dari dua orang yang sangat Rea benci di dunia ini.

"Mama..." seru Adrian melihat kehadiran seseorang itu.

"Sudah lama Mama menunggu di sini?" tanyanya kemudian seraya menyunggingkan senyum senang karena melihat mertuanya berkunjung ke rumahnya untuk pertama kali. Ya, seseorang itu adalah Seli, ibu Rea sendiri.

Berbeda sekali dengan reaksi Adrian. Rea justru memasang muka paling masam. Wajahnya menyiratkan kebencian mendalam.

Seli bisa merasakan itu, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terlalu menyesal telah membuat anaknya begitu membenci ibu kandungnya sendiri. Melihat Rea hanya mematung, Seli dengan cepat berlari-lari kecil dan langsung memeluk anak semata wayangnya itu.

Adrian tersenyum senang melihat pemandangan itu, tapi tiba-tiba senyumannya menghilang begitu melihat raut masam Rea saat ibunya sendiri sedang memeluknya penuh kasih.

"Syukurlah kau baik-baik saja..." gumam Seli dengan mata berkaca-kaca.

Tidak ada respons apa pun dari Rea. Hanya Seli saja yang memeluk sementara Rea terlihat enggan sekali. Menyadari itu, Adrian mulai bersuara.

"Mama...ayo kita ke dalam dulu," pinta Adrian seraya meraih bahu Seli untuk diajaknya masuk. Sementara Rea masih berdiri membeku.

Kebencian yang Rea rasakan sudah terpatri kuat sampai ke dasar hatinya. Ia masih ingat dengan jelas, ketika ibunya ikut andil dalam pengkhianatan itu.

Di hari kepulangan Rea ke Indonesia, Seli sama sekali tidak mengatakan apa-apa pada anaknya. Ia hanya menatap sayu ke arah Rea dan langsung menyuruh Rea untuk segera berganti pakaian.

It's Love, Real LoveWhere stories live. Discover now