#9: Ancaman Musuh

152K 7.3K 825
                                    

"Ayo Rea, kita pulang," Adrian menarik tangan kiri Rea.

Vino tidak mau kalah. "Dia akan pulang bersamaku," lantas menarik lengan kanan Rea. Membuat Rea berada ditengah-tengah, diperebutkan dua lelaki.

"Lepaskan tanganku," pinta Rea akhirnya. Ia bingung kenapa tiba-tiba dua lelaki ini memperebutkan dengan siapa ia akan pulang. Bukankah sebelumnya, mereka berdua sama-sama tidak menginginkannya, menganggap dirinya telah melukai mereka.

Dengan berat hati Adrian melonggarkan genggaman tangannya, membiarkan tangan Rea terlepas dari tangannya. Pun sama dengan Vino.

"Apa yang terjadi, Adrian?" Rea bertanya lemah.

"Mamamu sudah menceritakan semuanya. Dan aku tahu kalau kau tidak pantas dipersalahkan seperti tadi, aku minta maaf." Adrian menundukkan wajah, merasa bersalah.

"Dan yang paling penting sekarang, aku ada di sini Rea," Vino menimpali. "Aku tidak akan membiarkanmu dimiliki laki-laki lain, meskipun suami pura-puramu itu."

Rea mengerutkan kening heran. "Vino, kau tidak boleh berkata seperti itu, Adrian sangat baik padaku."

"Untuk itulah, aku tidak ingin dia terlalu membuatmu terhanyut dalam kebaikannya lantas merebutmu dari sisiku."

Rea merasa tidak enak atas ucapan Vino barusan, membuat Adrian ikut mendengarnya. Selama ini Rea merasa kalau Adrian sama sekali tidak pernah berpikir untuk merebut dirinya dari siapa pun. Adrian laki-laki yang baik, itu saja yang ia tahu. Dan bukankah dulu Adrian pernah bilang sendiri kalau laki-laki itu sama sekali tidak mencintai dirinya, jadi seharusnya Vino tidak perlu khawatir.

"Ayo, pulang..." Rea akhirnya menarik Vino untuk segera berjalan. Ia takut Vino akan mengatakan sesuatu yang buruk lagi pada Adrian. Vino tertawa menang, diliriknya wajah Adrian yang terlihat kecewa karena Rea lebih memilih menggandeng Vino.

"Apa kau kesini bersama Adrian?" Rea bertanya datar, disela-sela langkahnya keluar dari taman.

Vino enggan untuk menjawab, mengingat itu hanya akan membuatnya kesal. "Kita pulang naik taksi saja," jawabnya cepat, sekedar mengalihkan pertanyaan Rea tadi.

Rea mengangguk pelan. Ia membiarkan Vino merengkuh bahunya, meski ia tahu kalau di belakang ada Adrian. Entah kenapa, Rea merasa tidak enak hati. Meskipun setahu Rea Adrian tidak mencintainya, tapi membiarkan Vino dengan bebas merengkuhnya, itu membuatnya janggal. Bagaimanapun Adrian adalah suaminya sekarang.

"Rea tunggu..." panggil Adrian saat langkah Rea sudah mendekati jalan.

Rea menghentikan langkah, membuat Vino ikut berhenti meski dengan muka masam.

"Aku bawa mobil. Kita pulang bersama-sama." Adrian hendak meraih tangan Rea tapi segera ditepis Vino.

"Baiklah kalau kau memaksa," Vino yang menjawab. Ia kembali menggandeng Rea dan berjalan menuju ke mobil Adrian. Rasanya, ikut menumpang di mobil Adrian bagus juga. Setidaknya, ia akan sedikit menunjukkan pada suami pura-pura Rea tentang seberapa dekat ia mengenal Rea.

Vino membukakan pintu mobil belakang untuk Rea. Membiarkan Adrian duduk sendirian di depan. Adrian ingin protes, tapi tak kuasa demi melihat Rea yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang bersama Vino.

Adrian sering memperhatikan keduanya lewat kaca depan mobil, melihat Vino tak jua melepaskan tangannya dari bahu Rea. Membuat Adrian ingin sekali menarik tangan kurang ajar itu lantas mematahkannya. Karena seharusnya tangan Adrianlah yang lebih pantas merengkuh bahu Rea, bukan Vino. Berkali-kali Adrian menghembuskan napas, mencoba mengendalikan emosinya yang ia tahan kuat-kuat.

"Aku tahu kau pasti ke sana," Vino memulai pembicaraan. Membuat mata Rea tertuju ke arahnya.

Rea tersenyum. Bagaimana mungkin ia akan melupakan tempat itu.

It's Love, Real LoveWhere stories live. Discover now