Secret 2 : Perbincangan

5.7K 393 41
                                    

Riska memandangi kedua orangtuanya yang berada di hadapannya dengan jengah: hei, orangtuanya telah menikah, mereka bukan lagi anak ABG yang sedang bertengkar lalu cuek-cuekan!

Sementara Dika, ia tengah sibuk memandangi Kakaknya dari samping. Entah apa yang ia lakukan sampai menatap Kakaknya sendiri seperti ingin menerkam atau mencekiknya hingga tewas.

Riska memasang headset putih yang melingkar di lehernya sejak lama dan mengarahkan fokus matanya pada permukaan meja di depannya: mereka ini benar-benar. Apa tujuan mereka memanggilnya hanya untuk menonton keterbungkaman mereka berdua?

Harris berdehem setelah sekian lama terdiam, lalu melirik Diana yang juga kedapatan tengah menatapnya sebelum mengangguk yakin. "Papa ... mau ngomongin hal penting sama kalian berdua," ucap Harris pada akhirnya.

Dika membenarkan posisi duduknya dan menatap Harris dengan bingung. "Mau ngomong apa, Pa?" sahut Dika.

Harris melirik Riska yang sedang asik mendengarkan musik lewat headsetnya, tidak perduli pada attention yang telah ia katakan tadi. "Riska ..., copot headset kamu." Riska mengambil napasnya sejenak sebelum melepaskan benda yang dimaksud dan meletakannya ke tempat semula.

"Langsung aja, Pa. Riska mau tidur."

Harris terdiam sejenak sambil menatap kedua anaknya secara bergantian. Otaknya berpikir keras akan sesuatu yang ingin ia sampaikan. Bukan memikirkan apa perkataannya nanti, melainkan reaksi anak-anaknya setelah ucapannya nanti. "Mama sama Papa udah ngomongin ini baik-baik, dan keputusan Mama sama Papa sudah bulat, tidak bisa di ganggu gugat. Jika ada yang menolaknya, berikan alasan yang jelas," jelas Harris. Dika mengangguk, sementara Riska hanya diam dan merespon perkataan Papanya dengan diam.

"Jadi ..., Papa sama Mama sudah memutuskan untuk menjodohkan salah satu dari kalian." Dika sempat terdiam dan mencerna perkataan Papanya sebelum terhenyak ketika menyadari maksud dari perkataan Harris. Perjodohan?

Dika mengerjapkan matanya dan menatap Harris penuh tanya: apa sekarang kisah atau cerita tentang perjodohan lagi marak-maraknya di dunia nyata? Hidupnya adalah sebuah realita. Dan yang ada di pikirannya, perjodohan sangatlah tidak realitis. Apalagi jika ada cerita yang menyatakan bahwa perjodohan selalu berakhir dengan happy ending. Terlalu dramatis. Lagipula, umurnya masih 15 tahun, untuk apa orangtuanya menjodohkan dirinya, sementara ia masih asik dengan dunia remaja? Maksudnya, ia tidak ingin dijodohkan.

"Dika gak mau. Dika ... masih mau nikmatin masa remaja Dika sama pacar Dika. Intinya, Dika nolak!" Diana hanya tersenyum seraya menggelangkan kepalanya. Ia tahu, jika anak bungsunya akan menolaknya mentah-mentah. Jika Harris tetap memaksanya dengan beratus kecaman, maka anaknya itu akan membalasnya dengan beribu alasan.

Riska masih terdiam, begitu tenang. Namun sebenarnya, ia berpikir keras untuk menemukan alasan agar ia bisa menolak. Lagipula, orangtuanya ini ada-ada saja. Entah dapat Ilham dari mana bisa membuat keputusan tidak jelas seperti itu. Riska kira, mereka akan membahas mengenai pertengkaran mereka beberapa waktu lalu, namun nyatanya sangat melenceng dari dugaan.

"Baik, alasan Dika Papa terima. Jadi, Riska lah yang akan dijodohkan."

Riska mengerjapkan matanya dan kembali memasang headset di kedua telinganya. Mau dijodohkan atau tidak, itu bukan urusannya untuk saat ini. Lagipula, kedua orangtuanya tidak mungkin menikahkannya dalam waktu dekat. Tidak mungkin juga Papanya, memaksa dirinya untuk nikah muda dan memutus perjalanan sekolahnya hanya karena perjodohan ini.

Ini bukan cerita teenlit yang biasa ia baca di kebanyakan novel remaja.

Dika menoleh, menatap Kakaknya dengan dahi mengkerut: Orang normal pasti akan menolaknya terlebih dahulu, apalagi kedua orangtuanya menjodohkan mereka tanpa alasan yang jelas, itu sudah cukup menjadi alasan agar Kakaknya dapat menolak. Tetapi coba lihat respon Kakaknya? Hanya diam dan kembali mendengarkan musik, tanpa bertanya dengan siapa dia dijodohkan atau dengan alasan apa dia dijodohkan. Wow!

Dika menarik paksa headset Kakaknya, sontak membuat Riska menoleh tajam. "Kak, lu bisa gak sih serius dikit. Ini tuh menyangkut masa depan lo!"

Tangan Riska terangkat untuk mengambil benda miliknya, namun tingginya kalah fisik dari Dika yang lebih semampai dibandingkan dirinya. "Balikin gak, headset gue," pinta Riska dengan nada tertekan.

Dika menggeleng dan semakin meninggikan tangannya, membuat Riska mendengus kesal. "Lo bisa nolak, Kak. Terserah alasan lo apa aja, kalo perlu boong dikit kek!"

"Gak ada urusannya sama lo. Gue sama sekali gak punya alasan buat nolak ataupun nerima. Lagian juga, gue sama sekali gak tertarik sama hal kaya gini, kalau emang gak jodoh ya gak akan disatuin, kayaknya lo ribet banget!" Memang benar apa yang Riska katakan, namun jika tidak ada usaha bukankah sama aja menyerahkan diri? Nah lo!

"Bukan gitu Kak, tapi kan—" Ucapan Dika terpotong saat Kakaknya telah beranjak dari tempatnya dan meninggalkan dirinya yang belum sempat menyelasaikan kata-katanya. Harris dan Diana hanya bisa menghela napas dan geleng kepala dengan sikap kedua anaknya yang jauh dari kata akur.

[1] Past Secret [✔]Where stories live. Discover now