Secret 36 : Cerita Yang Tak Selesai

1.9K 181 26
                                    

Dika tahu benar apa yang saat ini tengah terjadi. Saat melihat Kakaknya pulang dengan berurai air mata, ia hanya bisa menghela napas dan menghampirinya. Merapikan rambutnya yang berantakan dan menyeka jejak air mata yang membasahi wajahnya tanpa bertanya "kenapa?".

Memeluknya dengan sayang sambil mengusap punggungnya menenangkan. Masalah ini ... seakan memang ditujukan untuk Kakaknya, tetapi menarik banyak orang.

Percaya atau tidak, Dika yakin jika Riska pasti lelah dengan semuanya. Mungkin ada perasaan ingin lari dari kenyataan setelah semuanya menorehkan luka untuk kesekian kali. Kecewa, lalu menangis. Selalu begitu.

Namun, Riska juga salah dalam menghadapi masalah ini. Selalu memendamnya sendirian, terlalu gegabah, dan berbohong tanpa memikirkan ke depan.

"Kalo mau nangis lagi, nangis aja. Aku pinjemin bahu aku buat Kakak."

Riska membalas pelukan Dika dan kembali menangis untuk kesekian kalinya. Membasahi baju Dika dengan air matanya, yang berharap akan berhenti karena masalah yang sama.

Dika adalah Adiknya. Menganggapnya sebagai Adik yang tidak tahu diri atau sialan adalah salah besar. Nyatanya, setelah Kakak tiada, Dika lah yang menemaninya, yang mencoba mengerti perasaannya dengan caranya sendiri. Riska ... baru menyadari hal itu belakangan ini.

*****

Pintu kamar Riska terketuk saat dirinya tengah memandangi kartu undangan pernikahan Papa. Hari ini pengumuman kelulusan, ia sengaja tidak datang ke sekolah dan memilih mengecek di web portal sekolah. Hasilnya tidak terlalu mengecewakan, setidaknya ia telah berusaha untuk mendapatkan nilai rata-rata di atas sembilan.

Riska beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Papa berdiri di sana, membawa sebuah benda berbentuk persegi di tangannya. "Selamat," katanya sambil tersenyum.

Kepala Riska dianggukan dengan seulas senyum tipis. Pasti Papa telah mendapat surat edaran pos dari sekolah mengenai hasil ujiannya. "Makasih."

Canggung. Hanya satu kata itu yang dapat mewakili situasi ini.

Harris menyerahkan album foto yang ia pegang kepada Riska. Ukiran marga Winata tercetak di atas sampul putih susu yang terkesan simple. Di tengahnya, ada lima bentuk hati merah yang saling bertaut.

Riska mengambilnya, kemudian membuka album tersebut. Foto-foto yang ada di meja nakas dekat kamarnya telah berpindah ke dalamnya. Membalikkan setiap halaman dan memperhatikan foto-foto yang pernah ia kumpulkan. Bahkan foto dirinya bersama Dika dan Helmi ketika masih bayi ikut tertempel.

"Maaf."

Setetes air mata jatuh setelah mendengar nada lirih Papa. Tangannya meremas permukaan album dengan gemetar. Kemudian, Papa menariknya ke dalam pelukan hingga tangisan lepas begitu saja dalam dekapan.

Beberapa kali Harris menggumamkan kata Maaf. Mengusap puncak kepala sang putri dan megecupnya berkali-kali. Sementara Riska, membalas pelukan sang Papa dengan sama eratnya, menguapkan rasa-rasa campuraduk yang pernah singgah untuk Papa.

Perlahan, pelukan mengendur, lalu lepas dengan sendat yang masih tersisa. Kedua mata yang mirip itu saling bertemu, menatap maisng-masing dari mereka dengan sayang. "Kita ulang dari awal ya. Papa bisa batalin perjodohan kamu sama Rafael dan pernikahan ini."

"Papa yakin? Setelah semuanya terjadi, apa Papa yakin bisa mengulang semuanya dari awal? Mama meninggal karena perselingkuhan Papa, Papa sama Tante Marissa ngekhianatin Mama karena saling mencinta."

"Kalo kamu sama Dika gak bahagia sama keputusan Papa, Papa bisa batalin semuanya. Papa bisa ngomongin ini baik-baik sama Tante Marissa dan Oom Devan. Kamu bakalan hidup tenang sama Papa dan Dika, meskipun gak ada Mama."

"Riska ... udah mutusin semuanya, Pa. Hubungan Riska dengan Deva, Rafael, juga Erga. Gak ada pengaruhnya seandainya Papa balik lagi ke masa dulu. Terus ke depan, Pa, jangan lihat ke belakang lagi. Riska takut sakit lagi. Riska ... mau pergi."

Harris terdiam. Matanya sendu menatap wajah anaknya, sebelum akhirnya menarik kembali tubuh Riska ke dalam dekapannya.

"Riska mau pergi, Pa. Jadi tolong, jangan cegah atau cari Riska selama Riska pergi. Papa baik-baik di sini sama Dika dan Tante Marissa. Jadilah Papa, dan suami yang baik. Jangan mengulang kesalahan yang sama seperti yang Papa lakuin ke Mama dan Riska. Riska bakalan pulang kalau udah saatnya, sebagai anak Papa yang dewasa dan dipanggil Eriska yang patut menyandang marga Winata di belakangnya. Riska bakalan jadi orang yang sukses dengan usaha sendiri."

Harris tidak membalasnya, tangannya hanya terus memeluk tubuh anaknya dengan erat. Seakan ini adalah pertemuan terakhir, selama beberapa menit Harris tak bisa melepaskan pelukannya. Riska tidak bilang, kapan dia pergi. Dia bisa pergi sewaktu-waktu tanpa sepengetahuan dirinya. Tanpa memberitahu dengan siapa dan ke mana ia akan pergi.

Vote dan komennya boleh kali, ya. Itung2 menghargai saya yang udah ngeluangin waktu buat nulis.

[1] Past Secret [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang