Epilog

4K 185 35
                                    

Harusnya, Riska telah pergi bersama Ana yang berada di dalam mobil jika Rafael tidak menahannya. Pergelangan tangannya masih digenggam erat oleh Rafael sejak sepuluh menit yang lalu; tanpa berkata, menatapnya penuh harap, membiarkan angin malam memeluk erat tubuhnya.

Riska berpikir; untuk apa Dika memberitahukan kepergiannya kepada Erga juga Rafael? Ini ... hanya menghalangi kepergiannya dengan berat hati. Lantas, bagaimana dengan Deva dan Papa? Tidak ada salam apapun dari mereka, atau mungkin Dika memang tidak memberitahunya.

"Hai."

Riska mengerjapkan matanya dan melepaskan genggaman Rafael. Di saat seperti ini, rasa canggung memang tidak ada. Rasanya seperti bingung mau melakukan apa. Jelas aneh, salam perpisahan bukanlah kata "hai" yang baru saja dilontarkan Rafael.

"Hai ..., Riska."

Rafael mengangkat tangannya dan menunjukkan gelang inisial R. "Lo ninggalin ini," kata Rafael.

Sengaja. Riska sengaja meninggalkannya. Bahkan gantungan kunci dari Erga juga ia tinggalkan di meja belajarnya bersama gelang itu. Pasti Dika.

"Raf, gue cuma mau pergi. Gue gak mau bawa apapun dari sini."

Rafael tersenyum, mengabaikan pernyataannya dan memasangkan gelang itu kembali ke tempat semula. "Lo udah janji. Jangan ingkari janji itu kalo gak mau gue tagih saat lo pergi. Lo gak mau kan, gue datang nyari lo cuma buat gelang ini."

Kata orang, cinta pertama adalah kenangan. Dia ada, untuk pengalaman—tidak berhasil hingga akhir. Riska mempercayai hal itu. Namun, hatinya bertanya—siapa orang pertama yang menyentuh hatinya hingga nyeri melanda. Rafael, atau Erga? Riska bahkan lupa, kapan pertama kalinya jantung ini berdetak untuk mereka berdua.

"Gue gak suka sama lo, Raf. Gue gak pernah punya perasaan apapun buat lo, meskipun itu kecil. Jangan berharap terlalu banyak," lirih Riska, menatap Rafael nanar.

Lagi-lagi Rafael tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat dan memberikannya kepada Riska. "Pergi sekarang, dan kembali saat waktunya tepat." Rafael mengusap puncak kepala Riska dengan jenaka. Mengusapnya dengan lembut sebelum menarik tangannya dan menyuruh Riska masuk ke mobil dengan gerakan kepala.

Riska menggangguk dan berbalik. Rasanya aneh. Hanya Rafael yang mengantarnya di akhir cerita sebelum dirinya pergi. Di mana yang lain? Maksudnya Dika, atau Erga mungkin.

Matanya melirik kaca spion mobil dan melihat Rafael yang melambaikan tangannya. Semakin menjauh. Kemudian menghilang ketika mobil yang dikendarai Ana ke luar dari area acara pernikahan. Tangannya membuka lipatan kertas yang diberikan Rafael. Tulisan tangan singkat dengan pulpen hitam memenuhi kertas kecil itu.

Pergilah sejauh mungkin. Hilangkan perasaan masa lalu dan kembali dengan hati yang kosong. Aku akan mengisinya, mengetuknya terlebih dahulu, dan mengucapkan salam sebelum masuk. Berharap aku masih menyimpan harapan untukmu dan menunggu selama aku bisa. Kemudian, bersamamu untuk waktu yang lama.

-Rafael Devano. A-

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

Halaman buku ini, akan menjadi halaman pertama dan terakhir dari cerita delapanbelas tahunku. Tahun-tahun menyakitkan saat mereka datang dan menawarkan kebahagian.

Bersama mereka, aku menydari satu hal, bahwa semuanya akan berubah pada waktunya. Hubungan kami—aku, Deva, Erga, dan Rafael berjalan biasa dan sedikit menyenangkan. Teringat saat kami dihukum di tengah lapangan atau terlibat cerita segiempat yang rumit.

Aku tersenyum, dan memikirkannya saat jatuh cinta. Merasa paling bahagia bahkan hanya sebatas pesan singkat dari Erga. Kemudian merana ketika hati ini goyah untuk pertama kalinya karena Rafael. Tetapi, Deva adalah sahabatku, dia selalu membuatku khawatir. Meskipun begitu, hubungan kami tetap hancur dengan jalinan yang tidak lagi jelas.

Tentang keluarga. Aku berpikir, Papa adalah satu-satunya lelaki terbaik di dunia saat kecil. Namun, kepercayaanku menghilang dan tidak lagi sama semenjak mengetahui rahasia yang terungkap sedikit demi sedikit. Dan, Dika, Adikku, terimakasih karena telah memperhatikanku dengan caramu sendiri. Terimakasih dan maaf dari Kakak untuk semuanya.

Tahun ini, akan menjadi rekor dalam usia remajaku. Tangisan pecah, mengiringi rasa sakit dengan masalah yang sama. Bahagia di akhir cerita, ataukah tragis sebelum cerita ini berakhir. Mama pergi, Kakak pergi. Silih berganti yang datang dan pergi untuk memberikan rasa sakit berkesinambung.

Karena waktu itu, aku hidup di umur delapanbelas tahun, dimana masa-masa paling menyakitkan, selalu datang tanpa pengecualian. Pada akhirnya, aku hanya perlu memejamkan mata dan mengingat kenangan bersama mereka, maka semua akan berlalu.

Dika menutup buku catatan Riska sambil tersenyum, lantas meninggalkannya di atas meja belajar Riska dan beranjak pergi.

Cerita ini belum selesai. Dia akan kembali, dan menyelesaikan sisanya.

T A M A T

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

T A M A T






[1] Past Secret [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang