Secret 11 : Surat

2.7K 186 11
                                    

Untuk beberapa saat Riska berpikir, untuk apa ia pindah ke SMA Labsky? Sejak kapan seseorang bisa mendekatinya begitu mudah? Sebaik hati dirinya, keluarganya pun masih sulit mendekatinya. Tetapi, bagaimana dengan Erga?

Riska menghela napas lalu mengangkat wajahnya untuk melihat Erga yang tengah duduk di depannya. "Lo sehari bisa gak sih, gak ganggu gue? Gak deketin gue? Gak ngerangkul gue? Dan jangan panggil gue dengan sebutan 'cewe gangster'?"

Erga sedikit memanyunkan bibirnya, "tiga pertanyaan pertama, gak bisa. Untuk pertanyaan yang terakhir, gue bisa. So, lo mau gue panggil apa? Sayang? Honey? Baby? Or Babe?"

Riska memejamkan matanya lalu mengeluarkan sebuah novel dari kolong mejanya dan menyangkutkan kepala earphone di telinganya. "Dan satu lagi, gue gak suka ya, kalo gue lagi dengerin lagu pake earphone ada yang ganggu. Terutama lo, yang sering nyomot sebelahnya," kata Riska sebelum fokus pada bukunya.

Erga tersenyum tipis lalu mengacak-acak rambut Riska yang terkuncir rapih, "lo ngingetin gue sama seseorang tau gak. Muka jutek lu tuh, pasaran banget," decak Erga. "Yaudah, kali ini, gue gak akan gangguin lu. Tapi nanti istirahat, lo harus makan bareng gue," kata Erga sebelum beranjak dari tempatnya.

Sepeninggal Erga, Riska melirik keberadaan Erga yang telah duduk di bangkunya. Karena lo, sikap gue jadi beda. Dan anehnya, cuma sama lo.

Beberapa saat kemudian, bel masuk. Kelas masih riuh. Pak Husein datang, diikuti langkah seseorang di belakangnya. Deva yang duduk di depan sempat terkejut akan kehadiran orang itu. Bukan, mungkin bukan terkejut, lebih tepatnya kagum.

"Baik, hari ini kita kedatangan murid baru lagi. Silakan."

Orang itu berdehem, "nama saya Rafael Devano Adinata, panggil aja Rafael. Semoga bisa berteman baik dengan kalian semua,"

Ya, orang itu adalah Rafael. Murid pindahan yang digosipin salah satu anak donatur yayasan.

Rafael mengedarkan pandangannya. Sudut bibirnya tertarik ketika melihat Riska tengah menundukan kepalanya pada buku yang ia baca. Rambutnya dikuncir satu, menampakan kabel earphone yang terpasang di kedua telinganya.

"Ya, baik. Silakan kamu duduk di samping Dimas."

"Saya boleh duduk di samping Riska?"

Ade memukul pundak Bagas, mengintruksi agar segera pindah dan memberikan tempat duduk untuk Rafael.

Tanpa banyak berpikir, Bagas langsung berdiri dan berpindah tempat duduk di samping Dimas. Semuanya langsung menahan tawa saat Bagas menjatuhkan tubuhnya di samping Dimas. Pasalnya, tubuh Dimas itu tergolong cukup besar. Dibilang gendut, nanti orangnya marah, dibilang kurus, nanti orangnya juga marah. Maka jadilah, seluruh kelas memanggilnya dengan sebutan "babi air". Sementara Bagas, dengan tubuh kecil dan duduk di samping Dimas, maka akan terlihat seperti anak kecil yang ingin diterkam seekor beruang.

Mana mukanya melas banget, gak tega yang ngeliat. Dan si Adit, malah heboh dengan tawanya.

Rafael berjalan menghampiri tempat duduk Riska, menyisakan banyak pasang mata yang memandangnya. Erga berdecak kesal lantas membuang wajahnya.

"Cemburu? Tenang aja, lo pasti gak akan kepilih. Kata Adit, muka lo tampang-tampang anak bungis," ucap Jesper dengan logat negara asalnya yang berada di sebalah Erga.

Erga menatapnya sebentar lalu menghela napasnya sebelum menelungkup wajahnya. Kalo bukan sahabat, udah gue jadiin sop tuh lidah.

Riska melepaskan earphonenya sembari menutup novelnya, lalu memasukkannya ke kolong meja. Dengan wajah malasnya, ia memperhatikan Pak Husein yang sedang bercerita di depan kelas sambil menempelkan pipinya di atas meja. Hampir setiap hari ia mendengar pribahasa yang sama "bergurulah ke padang datar, dapat rusa belang kaki, berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi". Entah itu pribahasa yang dibuat sendiri atau membacanya dari buku ilmu pengetahuan populer lainnya. Yang jelas, ia sudah bosan dengan pribahasa itu, pribahasa yang selalu diucapkan saat materi dimulai.

[1] Past Secret [✔]Where stories live. Discover now