5. Terbakar

1K 93 11
                                    

Pintu depan berdecit pelan. Seseorang berjaket tebal masuk tanpa permisi. Rumah reot di tengah tanah kosong kedatangan tamu tidak diundang.

Dia menyeringai. Pemantik api keluar dari saku celana lalu menekan sumbu hingga keluar sepercik api kecil.

Dia menatap wajah tiga orang yang terbaring di dalam. Wajah mereka menganga takut. Si pria tidak dikenal begitu menikmati ekspresi kalut pemilik rumah yang tidak bisa berteriak.

Lalu kemudian, si pria tersebut melempar pemantik api yang masih hidup. Membiarkan bibit kecil merayap selimut mereka lalu melahap rumah reot sementara si pria bajingan itu keluar dengan langkah tak bersalah.

***

Shira segera keluar dari ruangan tersebut. Tak lupa pula dia mengajak Andre dan mengatakan akan mengantar si pemuda itu pulang seperti perintah sang Mayor.

Matanya rerlihat berkaca-kaca dan sembab. Sepanjang jalan menuju keluar ruangan, dia tertunduk lesu.

Memancing Andre iba.

Begitu mereka keluar pintu, Shira amat kaget melihat dua orang anggotanya telah menunggu di luar.

"Harusnya kalian tunggu saja di balkon atas!"

"Maaf ketua," ucap si wanita bernama Mira. Rambutnya panjang seperti kapten mereka, lurus dan berwarna sepucat semen.

Sementara si pria, anak buah paling muda melihat sesuatu yang tidak beres dari wajah kapten mereka.

"Matamu terlihat sembab, Kapten."

"Tidak apa-apa."

"Kau habis dimarahin ya?"

Shira enggan menjawab. Dia melempar pandangan ke muka Andre dan malah menghardik.

"Dia kenapa, bocah?"

Gayanya tengik, padahal masih muda. Andre sangat yakin kalau dirinya lebih tua dari pria yang ada di depannya ini. Tingginya saja hanya seleher Andre.

"Berapa umurmu?"

"17."

"23," balas Andre segera.

Wanita di sebelahnya terdiam. Shira langsung menoleh. Sementara si pemuda memanyunkan bibir.

"Kau harus sopan terhadap orang yang lebih tua darimu."

"Hei bung, ini bukan perkampungan. Umur bukan penentu di sini."

Andre malas meladeni omongan pemuda tengik. Dia segera berlalu pergi dari sana. Andre pergi ke luar kuil dan menunggu Shira ikut keluar. Bagaimanapun dia tidak punya kendaraan agar bisa sampai cepat ke desa.

Menumpang adalah pilihan tepat. Di samping itu, dia juga menunggu barang yang telah mereka ambil dikembalikan kepadanya.

Dia bersender di tiang kayu. Dua penjaga kuil memerhatikan pria berbaju lusuh ada di kuil salah satu pasukan kerajaan. Mereka heran.

Tak berapa lama, penantian itu akhirnya tiba.

Shira keluar dari kuil seorang diri. Nampaknya hanya dia saja yang akan mengantar Andre pulang.

Dibonceng perempuan?

Tiba-tiba saja pikiran Andre berpacu liar.

Andre malu. Pipinya tampak menyembul merah. Apalagi setelah perempuan itu naik ke atas kuda. Dia melihat lekuk tubuh dari wanita yang baru disadarinya sangat sempurna.

Andre malu dibonceng perempuan. Tapi mau tidak mau, apalagi setelah wanita itu menghardik, "cepat naik."

Tidak ada kata lain selain iya yang keluar dari bibir Andre. Pemuda itu manut dan naik ke atas kuda.

"Kau harus mandi setelah sampai di rumah," imbuh Shira, "baumu seperti kain lap," tambahnya lalu memacu kuda.

Mereka meninggalkan markas dalam kecepatan tinggi.

"Hei jangan menghinaku seperti tadi." Andre terlambat protes.

"Kenapa? Kau memang bau."

Mereka mulai keluar dari gerbang ibukota menuju desa tempat Andre tinggal.

"Kau tinggal di mana?" Tanya Shira. Suaranya ditelan angin kencang.

"Setidaknya perkenalkan namamu dulu sebelum bertanya. Kau sama saja seperti anak buahmu yang tengik itu."

"Baiklah," Shira mengalah, "Namaku Shira. Senang berkenalan denganmu."

Shira berkata sambil menirukan gaya anak sekolah yang sedang berkenalan.

"Nah sekarang, dimana tempat tinggalmu?"

"Desa Bukit Housevill."

Pas sekali Andre menjawab. Sebab tak lama mereka menemukan tiga simpang jalan berbecek. Shira segera berbelok ke arah kiri. Sesuai petunjuk yang diberikan Andre.

"Apa kamu membawa barang yang kamu ambil dariku."

"Iya, semuanya adda di dalam tas." Shira menunjuk ke arah samping pelana.

"Mulai dari golokmu yang menghitam, bukumu yang terbakar sebagian hingga jamur obat yang hangus sebagian."

"Apa masih ada yang bagus?"

"Apanya?" Shira sejenak tuli karena angin

"Jamur obatnya," balas Andre sekuat tenaga.

"Ya, jamur obatnya masih banyak yang bagus. Sebenarnya, bagaimana bisa kau pingsan di hutan yang terbakar."

"Aku tidak ingat." Andre berusaha memeras otaknya, memancing kenangan namun tetap juga tidak dapat.

"Aneh," balas Shira tidak puas.

Mereka mulai menjumpai jalanan berlumpur. Kaki kekar sang kuda mengayun tak terhalangi. Keras. Tidak ada yang bisa menahan lajunya. Bahkan lumpur sekalipun.

Petak sawah mulai menghiasi sisi kiri dan kanan. Pertanda rumah si pemuda semakin dekat.

Mereka meewati sebuah rumah yang sangat ramai dikunjungi warga. Letakanya tepat di simpang jalan. Berpatok dari situ, si pemuda menyuruh Shira belok ke kanan.

Ketika Shira bertanya, si pemuda menjawab bahwa orang itu adalah saudagar di desa tempat Andre tinggal. Para petani, peternak dan buruh ilir mudik ke rumahnya untuk menjual barang dagangan, hasil panen yang akan dikirim ke ibukota.

Shira mengangguk paham menerima penjelasan si pemuda yang begitu ringkas. "Dari sini", kata si pemuda, "kita tinggal mengikuti jalan."

Andre mendongak ke atas langit melihat kepulan asap mengembul di angkasa. Arahnya tepat dari rumah si pemuda.

"Itu kenapa?"

"Cepat." Pikiran Andre diterpa dugaan buruk. Dia menggeliat, memukul pundak dari belakang. Memekik sambil berkata, "Cepat kita datangi asap itu," tunjuknya ke arah ufuk.

Shira menurut meski dia mendumel sebentar. Dia memecut punggung sang kuda dengan ayunan tali. Menyuruhnya berlari lebih kencang.

Suara pekikan terdengar begitu jelas, "pegangan yang erat!" Sang kuda turun membanting tanah. Diayunkan sekali lagi. Kuda cokelat itu sontak berlari begitu kencang bagai angin topan. Jalan becek dia hantam, kubangan paret dia lompati. Kuda Shira sekarang disetel berlari layaknya kuda pacuan, benar-benar kencang.

Dia berlari menapak lurus mengikuti jalan. Berbelok sedikit mengikuti medan. Sesuatu yang dikhawatirkan si pemuda benar-benar terjadi. Tepat di ujung jalan dimana hanya rumahnya bersama pohon apel di halaman depan. Merah jingga merayap begitu ganasnya, besar dan liar. Menari-nari dalam kesedihan. Andre turun dan mendadak lemas.

"Tidak mungkin."


ANDRE FOSKAS [TAMAT]Where stories live. Discover now