13

29.1K 2.6K 58
                                    

"SAYA dengar kamu dan Alan berkelahi lagi."

Perkataan Bu Erna itu memecah kesunyian ruang di BK tersebut. Saat ini Juna, Alan dan Juni, sedang berdiri di depan meja guru tersebut dengan kepala tertunduk. Setelah mendengar kejadian kemarin dari siswa yang melapor, Bu Erna langsung memanggil ketiga anak yang telah berhasil membuat kegaduhan besar di sekolah kemarin.

Juna masih terdiam sambil memandang sudut ruangan yang sering ia datangi itu. Kalau diingat-ingat, Juna bahkan sudah berpuluh-puluh kali menginjakkan kaki di ruangan ini. Tentunya lelaki itu selalu mendapatkan omelan tiap kali masuk ke ruangan ini. Karena Juna tak pernah habis-habisnya untuk membuat onar di sekolah. Juna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lelaki itu terlihat sangat bosan mendengarkan ceramah dari Bu Erna.

Sementara itu Alan terlihat sembunyi-sembunyi untuk memainkan ponselnya yang ia pegang di tangan kanannya. Alan sedikit memiringkan kepalanya untuk melihat layar ponselnya. Lelaki itu terlihat sangat tidak peduli dengan ucapan Bu Erna. Sama seperti Juna, alan juga sudah sangat langganan keluar masuk BK. Masalahnya pun sebelas dua belas, kalau tidak melanggar peraturan sekolah, pasti berantem.

"Kalian dengar ucapan saya tidak?!" bentak Bu Erna sambil menggebrak meja. "Dan kamu Juni. Saya dengar kamu tidak melerai perkelahian mereka, justru kamu berpelukan dengan Juna di tengah lapangan. Apa benar itu?"

Juni yang sedari tadi menundukkan kepalanya pun memberanikan diri untuk menatap Bu Erna. "Maaf, Bu. Saya sudah berusaha melerai perkelahian mereka," ucap Juni.

"Lalu mengapa kamu malah berpelukan dengan Juna?" Pertanyaan tersebut kembali membuat Juni mati kutu. Apa mungkin ia akan mengatakan yang sejujurnya?

Ya kali, gue jujur, yang ada malah malu-maluin, batin Juni

"Juni! Jawab saya!" teriak Bu Erna.

"Iya, Bu. Saya mengaku salah," ucap Juni.

"Kamu tahu, kan, bahwa melakukan hal-hal tersebut di depan umum merupakan tindakan yang tidak pantas. Apalagi kamu melakukannya di sekolah, di mana sekolah tempat untuk menuntut ilmu bukan untuk berpacaran. Mau jadi apa masa depan bangsa kita jika penerusnya tidak bermoral seperti kalian."

"Apalagi kamu, Juni. Kamu itu seorang perempuan. Apa kamu tidak malu akan sikapmu itu? Bisa dengan mudah dipeluk-peluk oleh sembarang lelaki."

Mendengar ucapan Bu Erna membuat Juna geram. Tangan lelaki itu terkepal kuat siap untuk menggebrak meja. Menyadari hal itu, Juni pun menahan tangan Juna. Gadis itu menatap Juna sembari menggeleng, mengisyaratkan Juna agar tidak semakin membuat masalah ini runyam. Sebenarnya Juni sendiri merasa tidak terima dengan ucapan Bu Erna tadi. Beliau berkata seolah wanita perilakunya harus lebih sopan daripada laki-laki. Padahal, kan, apa pun gendernya, mereka harus berperilaku sama sopan di hadapan masyarakat. Namun, sebisa mungkin Juni menahan diri untuk tidak mendebat ucapan Bu Erna. Guru yang satu itu memang terkenal tidak bisa dibantah.

"Iya, Bu, saya salah." Juni menundukkan kepalanya.

"Lah, kok, jadi lo yang salah? Ini, tuh, salah si Banci itu," ujar Juna. Lelaki itu menunjuk Alan yang berada di sampingnya.

"Bacot lu," kata Alan.

"Hentikan ucapan kalian! Apa kalian tidak sopan santun?!" bentak Bu Erna lagi.

"Lo sendiri gak tahu caranya," bisik Juna pelan yang dibalas dengan pukulan oleh Juni yang mendengarnya.

"Dan kalian berdua!" Bu Erna menunjuk Juna dan Alan secara bergantian. "Bukankah saya sudah memperingatkan kalian untuk tidak berkelahi lagi? Tapi apa? Kalian masih saja seperti ini."

JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang