14

29.5K 2.4K 39
                                    

JUNI sejak tadi terus menerus menyapu lapangan sekolah. Gadis itu tidak mau membuang-buang waktu untuk beristirahat atau sekedar meregangkan otot-otot tangannya yang pegal. Mungkin karena dia tidak ingin kelewatan lebih banyak jam pelajaran lagi. Seperti biasa, Juni selalu mementingkan pelajaran di sekolahnya.

Juna menatap Juni sejenak, kemudian berkata, "Bisa enggak kita istirahat bentar dulu?" tanya Juna. Lelaki itu memijat pergelangan tangannya yang pegal.

"Tanggung," jawab Juni. Gadis itu kembali mengumpulkan sampah daun hingga menjadi satu, lalu berjalan ke sisi lain lapangan yang masih kotor. Setelah itu ia berjalan untuk mengambil serok. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sampah yang tadinya sudah terkumpul, kini berantakan kembali.

Juni menatap Juna kesal. "Lo ngapain?" tanya Juni.

Juna mengernyitkan dahi. "Nyapu, apalagi?"

"Apa ini bisa disebut nyapu?" tanya Juni sembari menunjuk sampah-sampah yang menjadi kacau karena ulang Juna.

Juna menggaruk tengkuknya. "Emang yang gue lakuin salah?" tanya lelaki itu dengan tampang polosnya.

Juni menghembuskan napasnya. "Lo coba pikir sendiri."

"Ya, maaf ... kan, gue cuma nyapu. Yang ngotorin ini, tuh, angin, jadi jangan salahin gue, dong!" ucap Juna tak terima.

"Mending lo duduk aja daripada banyak bacot. Biarin gue aja yang nyelesain ini semua," ucap Juni.

Lebih baik Juni mengerjakan semua ini sendiri, ketimbang membiarkan Juna membantu dan pada akhirnya lelaki itu hanya menambah pekerjaan. Gadis itu kembali menyapu halaman tersebut. Kalau dipikir-pikir ini sungguh konyol. Juni yang memberikan hukuman tetapi gadis itu juga yang harus menyelesaikannya sendiri. Kalau begini sama saja Juni sedang menghukum dirinya sendiri.

Beberapa menit kemudian gadis itu menghembuskan napasnya lalu menjatuhkan bokongnya di sebuah kursi yang ada di pinggir lapangan. "Capek," gumamnya pelan. Juni lalu mengedarkan pandangannya. Dia ke mana? batin Juni.

Tiba-tiba lengan kanan Juni merasakan sesuatu yang dingin. Spontan gadis itu menengok ke samping. "Lo ngagetin gue."

"Nih, buat lo." Juna mengulurkan air mineral dingin kepada Juni. Gadis itu menatap air mineral itu tanpa berniat untuk mengambilnya. "Gue tahu lo pasti capek habis nyapu lapangan seluas ini. Lagian, siapa suruh lo buat hukuman yang berat-berat gini."

"Lo nyebelin banget tahu, enggak? Seharusnya lo yang ngejalanin hukuman ini, bukan gue!" gerutu Juni kesal.

Gadis itu merampas botol air tersebut dengan kasar, lalu meminumnya.

"Maaf, deh, maaf. Gue enggak pernah nyapu soalnya, jadi daripada buat lo tambah susah mending gue diem aja," ucap Juna.

Juni menatap Juna dengan heran. "Serius? Lo enggak pernah nyapu atau bersih-bersih?" tanya Juni.

Juna menggeleng.

"Tapi rumah lo bersih banget. Apa semua itu orang tua lo yang bersihin tiap hari?" tanya Juni.

"Enggak. Di rumah ada banyak pembantu," jawab Juna.

Juni mengangguk. "Oh iya, waktu gue ke rumah lo, gue enggak ngeliat orang tua lo. Emang mereka ke mana?" tanya Juni.

Wajah Juna seketika menegang. Gelagat Juna jadi sedikit aneh. Sepertinya lelaki itu tak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis itu. Tapi sebisa mungkin Juna tak menampakkan gelagat anehnya itu. Dia tak ingin kalau sampai Juni menyadari hal itu.

Tiba-tiba ponsel Juna berdering. Lelaki itu segera bangkit dari duduknya merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya yang ia simpan di sana. Lelaki itu kemudian menatap kea rah layar ponselnya, membaca nama orang yang tertera di sana. Setelah itu Juna segera mengangkat dan berjalan menjauhi Juni.

JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang