18

25.9K 2.3K 54
                                    

JUNI berjalan menuju kelas dengan pemikiran yang masih tertuju pada ucapan lelaki itu tadi. Sungguh setelah mendengar pengakuan Juna tadi, jantung gadis itu tak berhenti berdetak kencang. Memikirkan ucapan Juna saja sudah mampu membuat darah Juni berdesir pelan. Apakah Juna serius dengan ucapannya barusan? Atau lelaki itu hanya mempermainkannya saja?

Tanpa sadar Juni telah sampai di dalam kelasnya. Gadis itu pun langsung berjalan menuju bangkunya. Aya rupanya sudah mengisi tempat duduknya. Padahal biasanya selalu Juni yang terlebih dahulu datang. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, Aya bisa datang lebih pagi dari gadis itu.

"Lo kenapa baru dateng?" tanya Aya dengan raut wajah yang terlihat cemas.

Juni yang baru menjatuhkan bokongnya di kursi pun menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. "Gue belum juga duduk, Ya. Udah ditanyain aja," gerutu Juni kesal.

"Hehe maaf, Jun." Aya cengengesan. "Abis lo, kan, paling anti yang namanya telat. Kok, bisa, sih?" tanya Aya penasaran.

"Ini gara-gara Juna," ucap Juni.

"Hah? Kok, bisa gara-gara Juna?" tanya Aya.

"Panjang ceritanya," ucap Juni.

"Gimana ceritanya? Ceritain, dong! Gue penasaran, nih," paksa Aya sambil menggoyang-goyangkan lengan Juni dengan cukup kencang.

"Iya, iya, entar istirahat gue ceritain. Itu Pak Kumar udah dateng!" ucap Juni.

Seorang guru tua dengan janggut di dagunya pun masuk ke dalam kelas mereka. Seketika itu suasana kelas yang tadi ramai berubah menjadi senyap. Mungkin mereka merasa takut kalau sampai Pak Kumar marah karena kelas yang ributnya kayak pasar.

"Oke, awas kalau lo gak cerita!" bisik Aya.

×××××

ASAP tersebut terlihat begitu mengepul dari mangkuk bakso yang ada di hadapan Juni. Gadis itu pun menaruh beberapa sendok sambal ke dalam kuah bakso tersebut. Gadis itu kemudian mulai menyendok satu pentol bakso yang ada di mangkoknya. Juni meniup-niup bakso yang ada di sendoknya tersebut agar makanan tersebut lebih dingin.

Baru saja Juni hendak memakan bakso di sendoknya, tiba-tiba saja tangannya ditahan oleh Aya yang sedari tadi menatapnya tanpa henti. Juni pun akhirnya menaruh kembali sendoknya dan menatap ke arah Aya.

"Apa lagi Ya? Gue mau makan ini," ucap Juni.

"Cerita dulu Uni!" paksa Aya.

"Oke, oke." Juni menatap serius gadis yang duduk di hadapannya itu. "Tapi lo harus janji pas gue cerita lo gak boleh motong-motong gue. Jangan teriak-teriak heboh gak jelas juga," ujar gadis itu.

"Siap, Bos!"

Juni pun mulai menceritakan semuanya. Dari saat dirinya dan Juna dikejar-kejar bapak-bapak sampai akhirnya berujung harus bermalam di motel. Juni menceritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan. Hal itu membuat gadis di depannya menganga berkali-kali.

"... jadi gitu," kata Juni mengakhiri cerita panjangnya.

"Jadi lo sama Juna tidur satu atap di kamar yang sama?" tanya Aya kaget.

Juni mengangguk.

"Seriusan, Jun? Lo enggak kenapa-napa, kan? Lo enggak diapa-apain sama dia, kan? Atau kalian emang begituan?" Aya langsung membrondongi Juni dengan berbagai macam pertanyaan yang ada di kepala.

Juni mendengus. "Enggak. Ya, gue sama dia emang satu kamar, cuma gak tidur bareng. Gue tidur di sofa, dia di kasur," ujar Juni.

"Ih, Bebeb Juna gak ada akhlak. Masa lo disuruh tidur di sofa, sih?" tanya Aya sambil mencebik kesal.

JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang