two

34 4 2
                                    

Pagi itu hujan deras membasahi kota Jakarta, membuat sebagian besar manusia disana meringkuk malas di tempat tidur, enggan beranjak dan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk Lala. Gadis berambut sebahu itu masih menggulung di dalam selimut tebalnya walau jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Matanya sudah terbuka dengan sempurna, namun hawa dingin yang menyeruak masuk ke kamarnya membuatnya sangat nyaman dan semakin malas untuk sekadar berdiri dari tempat tidur. Jangan tanyakan keberadaan Dian, karena Lala sudah tahu jika ibunya pasti sudah meninggalkan rumah sedari tadi, menghadiri rapat guru mingguan yang selalu berjalan sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Lala tahu ia pasti akan telat. Untuk itu, ia sengaja lebih berlama-lama di atas kasur hangatnya sebelum merelakannya untuk pergi ke kamar mandi dan bersiap.

Sudah terlanjur basah, menyelam saja sekalian. Pikirnya.

"Kok lama banget? Nggak telat?" sahut seorang pria paruh baya yang menyambut Lala di ruang tamu saat ia turun dari tangga lengkap dengan seragam sekolah dan tas ranselnya. "Mau Papa anter?"

"Telat sih, Pa, tapi nggak apa-apa." Lala mengambil kotak bekal yang sudah disiapkan ibunya di atas meja makan. "Emang Papa nggak capek? Baru aja semalem nyampe rumah."

Dirga, Ayah Lala, terkekeh. "Kayak Papa baru pertama kali aja kayak gini."

Dirga merupakan seorang pengusaha yang sering menjalani business trip ke luar kota. Oleh karena itu, tak heran bagi Lala jika ayahnya mendadak akan pergi ke suatu kota dan pulang tak tentu waktu.

"Ayo, Papa anter." ujar Dirga yang sudah memegang kunci mobilnya. Lala mengangguk. Setelah mengenakan sepatu ketsnya, ia menaiki mobil milik Dirga.

Jarak yang ditempuh sebenarnya terbilang cukup dekat. Namun keadaan jalanan yang macet karena hujan membuat Lala sampai di tujuan tepat pukul delapan, yang berarti Lala sudah terlambat satu jam.

Melalui kaca mobilnya, pandangan Lala tertuju pada pak Sobri, guru Bimbingan Konseling yang siap mencatat nama-nama siswa yang terlambat di pos satpam. Buku hitam musuh para siswa terlambat sudah setia berada dalam pelukannya. "Aduh, mampus deh Lala."

"Kamu sih, lama banget siap-siapnya." tutur Dirga. "Udah sana turun, bawa payungnya."

"Nggak usah bawa payung, Pa. Nggak terlalu jauh, kok." jawab Lala. Ia menyalimi Dirga dan mengecup pipinya singkat. "Doain aja semoga Lala nggak dihukum."

Setelah turun dari mobil, Lala dengan cepat berlari menuju pos satpam, membiarkan seragamnya sedikit basah akibat hujan yang tak kunjung reda, membiarkan pak Sobri melihatnya dengan garang. "Kamu bukannya anak bu Dian?"

Lala mengangguk kecil, "Iya, Pak."

"Anak guru kok telat." cibir pak Sobri. Lala mendengus, membiarkan guru BK itu melihat nama lengkap di seragamnya dan mencatatnya di buku hitam.

"Maaf Pak, Rafa telat." suara berat tiba-tiba terdengar di belakang Lala, membuat ia maupun Pak Sobri menolehkan pandangan ke arah sumber suara. Lelaki itu, orang yang dipanggil ibunya beberapa hari lalu, yang tersenyum aneh padanya saat ia berjaga di UKS. Lelaki itu sedang membuka jaket kulitnya yang sedikit basah. Saat ia mendongak, pandangan mereka langsung bertemu. Lelaki itu sedikit tersentak dan tersenyum yang langsung membuat Lala mengalihkan pandangannya tanpa membalas senyuman tersebut.

"Ada-ada aja kalian ini. Nggak lihat udah jam segini?" pak Sobri memulai omelannya setelah mencatat nama Rafa. Ia menunjuk lelaki itu dengan pena tintanya. "Udah berapa kali kamu telat bulan ini? Nggak kapok-kapok ya, Rafael?"

MisadventureWhere stories live. Discover now