PART IV

3.3K 75 4
                                        


Awan hitam berarak dari arah Timur. Sesekali suara gemuruh saling beradu, membombardir permukaan bumi dengan bom suara. Mendung menggelayut dipagi yang kian suram, namun enggan menumpahkan muatan air hujan yang dibawanya. Membiarkan suasana semakin kelam.

Tiga kematian misterius masih menghantui seluruh penghuni asrama. Pagi tadi, seorang gadis ditemukan telah kehilangan nyawa. Caca ditemukan tewas dengan kondisi yang mengerikan. Kedua bola matanya telah diambil dari tempatnya. Dan ia kehilangan seluruh darah yang ada dalam tubuhnya. Tak ada setetes pun darah yang tersisa. Semua seakan habis terhisap keluar dari tubuhnya. Tanpa secuil luka yang mampu mengambil seluruh darah dalam tubuhnya.

***

Hervina Claudia, gadis berkerudung itu terduduk dalam lamunan panjangnya. Tak habis pikir. Teman sekamarnya telah pergi ketempat yang lebih damai menyusul sahabatnya. Secara cepat. Ia adalah orang terakhir yang melihat Caca dalam kondisi masih hidup. Polisi telah mengintrogasi dirinya sebagai saksi. Tak ada bukti yang mengarah pada dirinya. Atau tak ada bukti yang mengarah pada manusia sebagai pelakunya.

"Ini kematian ketiga, apa tidak sebaiknya kita meminta bantuan anak itu?" tanya seorang gadis yang duduk didekatnya.

"Dia tidak mungkin membantu kita, kau tahu sendiri betapa sombongnya dia." balas Vina.

"Tapi Vin, hanya dia yang mengerti tentang hal semacam ini!"

"Tidak Dara, kau tentu ingat kan saat kita meminta bantuannya tempo hari!"

"Kurasa kau benar Vin, dia memang orang yang keras kepala." gadis itu, Dara menghela nafasnya. Ia sangat mengingat bagaimana reaksi yang mereka terima saat meminta bantuan kepada seseorang yang tengah mereka bicarakan.

"Tapi kau berpendapat sama denganku kan Vin?" tanya Dara kembali, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

"Tentu saja, ini semua pasti berkaitan dengan kutukan itu!" tegas Vina.

"Tapi...." ujar mereka bersamaan.

Rasa ragu kembali menghampiri benak mereka berdua. Mereka tahu tentang hal ini. Tapi mereka sendiri tak mengerti cara menghadapi semuanya. Kegelapan menutupi nalar mereka. Kegelapan yang berasal dari alam lain. Dan tanpa mereka duga, malaikat maut tengah berjalan mendekati mereka.

***

Tirai hujan terbentuk perlahan. Berusaha menutupi kematian misterius yang menghantui sekolah ini. Seluruh kepala penghuni asrama berdesing. Sebagian dari mereka telah tahu bahwa ini adalah kutukan yang terulang kembali. Namun mereka tak tahu bahwa kutukan kali ini datang lebih cepat dari dugaan mereka.

Batara masih berusaha mengolah informasi yang ia dapat. Semua kematian ini saling berkaitan. Ia berusaha memikirkan hal yang paling masuk akal. Termasuk bayangan Jeff the Killer ataupun Eyeless Jack. Walaupun ia tahu, itu adalah hal terkonyol. Namun pikirannya masih tersita pada sebagian pembicaran siswa lain. Kutukan. Kata itu terus menerus berputar dalam otaknya.

"Kutukan apa?" batinnya.

"Kau harus berhenti melamun seperti itu!" Omi menupuk pundak Batara, berusaha mengembalikannya kealam sadarnya.

Untuk yang kesekian kalinya, Batara nyaris terjatuh karena terkejut. Ia harus mengatur nafasnya.

"Omi bisakah kau tidak..." Batara memandang tajam kearah Omi.

"Ya ya aku tahu, berhenti membuatmu hampir terkena serangan jantung, tapi sekali lagi, kau harus berhenti melamun seperti itu!" balas Omi sambil duduk disebelah Batara.

Batara menghela nafasnya.

"Kurasa kau benar, aku terlalu memikirkan hal ini."

"Bukan salah mu Bat, semua siswa disini juga dihantui perasaan itu."

"Hei Omi!" seru Batara, ia mengingat satu hal.

"Ya." jawab Omi singkat.

"Kau pernah bilang sepuluh tahun yang lalu kau bersekolah disini kan?"

"Ya kau benar, saat gedung sekolah dasar, SMP dan SMA Wira Bhuana masih satu kompleks, sebelum pihak yayasan memutuskan memindahkan SD dan SMP Wira Bhuana ke kompleks lain."

"Berarti kau tahu tentang kutukan itu kan?" selidik Batara, rasa penasaran menghantuinya.

"Tak banyak yang aku tahu, yang ku dengar hanya SMA Wira Bhuana mendapat kutukan saat salah seorang siswanya ditemukan tewas sepuluh tahun lalu."

"Tewas?"

"Ya dia tewas karena...." Omi hendak melanjutkan ucapannya sebelum seorang pemuda menegur mereka.

"Sebaiknya kalian tidak perlu ikut campur dengan hal ini!" seru pemuda itu.

Batara hanya memandang aneh kearahnya. Belum sempat ia menanyakan maksud pemuda itu, pemuda itu beranjak pergi.

"Siapa dia?" tanya Batara penasaran.

"Dia Foo, dia memang seperti itu!" seorang gadis menjawab pertanyaan Batara.

"Kak Naura." sapa Omi dan Batara bersamaan.

Naura tersenyum tipis.

"Kalian harus berkumpul di aula, ada sedikit pengumuman dari kepala sekolah!"

Mereka segera bergegas menuju aula. Tanpa sadar, Foo memperhatikan mereka.

"Ini bukan kutukan, ini dendam!"

***

to be continued

DANURWhere stories live. Discover now