"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Batara ke tiga temannya.
Tak ada yang menjawab. Mereka hanya diam. Vina masih menangis karena kejadian tadi. Sebenarnya Batara tidak ingin menanyakan hal ini sekarang. Namun jika ia berdiam diri terlalu lama, ia merasa otaknya semakin memanas. Batara memandang Vina sejenak.
"Tak usah sekarang jika kalian belum ingin mengatakan hal yang terjadi."
Puput yang sejak tadi memegan bahu Vina memandang kearah Omi. Tatapan memohon terlihat jelas dimatanya. Omi hanya terdiam kikuk. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Tapi tatapan gadis itu membuat Omi tak dapat berbuat banyak.
"Heh..." Omi menghela napasnya.
Batara menoleh kearah Omi, alisnya terangat.
"Kematian baru!" jawab Omi singkat.
"Siapa?"
"Kak Alghiffari ditemukan tewas didepan gedung asrama putra, tubuhnya nyaris tak lagi utuh, sebagian tubuhnya telah...ehhh..." Omi tak mampu melanjutkan ucapannya. Ia memandang kearah Puput. Gelisah.
"Ada apa? Kenapa dengan tubuh kak Al?"
"Sebagian tubuhnya telah tercabik-cabik oleh burung gagak!" jawab Vina sambil berusaha menghentikan tangisnya.
Batara hanya terdiam. Ia tak dapat membayangkan apa yang terjadi pada tubuh milik Alghiffari. Mendengar kata-kata tersebut membuat bulu kuduknya meremang. Ia kembali teringat ucapan madam Citra.
"Tak hanya itu, tak jauh dari lokasi jasad kak Al, tubuh Mulia ditemukan tergeletak tak sadarkan diri, wajahnya sangat pucat dan dia ditemukan dalam keadaan kekurangan banyak darah." imbuh Omi.
"Berarti dia tahu siapa pembunuhnya?"
"Kemungkinan itu sangat besar Bat, namun saat ini dia masih merasa shock. Dia hanya mengatakan 'pergi' dan 'ampun' berulang-ulang." jawab Puput.
"Pasti ia mengetahui satu hal!" gumam Batara. Lebih kepada dirinya sendiri.
"Aku akan mengantar Vina kekamarnya, ayo Vin!"
Puput memapah tubuh Vina kekamarnya. Meninggalkan kedua pemuda yang kini hanya memandang kosong kearah meja dihadapan mereka. Pikiran mereka dihantui rasa gelisah. Satu per satu korban berjatuhan. Dan bukan tidak mungkin mereka adalah korban berikutnya.
"Aku akan menemui Mulia! Omi kau ikut?"
"Kurasa tidak, ada yang harus kukerjakan di perpustakaan, sampai jumpa siang nanti!"
Omi bergegas menuju perpustakaan. Batara pun segera menuju gedung asrama. Menuju kamar milik Mulia.
***
"Jangan dekati aku, pergi...pergi!!"
Mulia terjaga dari mimpi buruknya. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia berusaha mengatur laju napasnya yang kian memburu. Degup jantungnya meningkat. Adrenalinnya terpacu. Bayangan peristiwa mengerikan semalam kembali terlintas dalam pikirannya.
Tok...tok...tok...!!!
Suara ketukan pintu kamarnya membuatnya terkejut. Sejak kejadian itu ia menjadi paranoid.
"Si...si...siapa itu?"
"Ini aku Batara, apa aku boleh masuk?"
"Ten...tu sa...ja, masuklah!"
Batara membuka pintu kamar tersebut. Ia tersenyum kearah Mulia. Mulia tak membalasnya. Matanya mengawasi sekelilingnya. Seolah ia takut malaikat kematian ada disana. Batara merasa ada yang tak beres.
"Apa kau baik-baik saja?"
"Dia ada disini!" ucap Mulia. Tubuhnya gemetar.
"Apa? Siapa? Bisakah kau menceritakan kejadian yang sebenarnya?"
"Se...sebenarnya..."
***
Batara masih tak percaya akan semua cerita tersebut. Tapi ia tahu, Mulia tak mungkin berbohong. Ketakutan dimatanya menjadi petunjuk baginya. Semua cerita itu benar.
"Tak mungkin!"
***
Suara lolongan anjing menggema dimalam itu. Semua penghuni asrama enggan untuk keluar. Perlahan awan mendung berarak menutup langit malam yang suram. Bulan purnama pucat menggantung malu diatas sana. Bergegas menghilang dari pandangan. Seolah tak berani memberikan sedikit cahaya miliknya bagi mahkluk hidup lainnya.
Pemuda itu nampak berjalan menjauhi gedung asrama. Ia merasa tak lagi diinginkan untuk berada disana. Bahkan sejak peristiwa penemuan jasad Alghiffari, semua orang makin menjauhi dirinya. Ini bukanlah salahnya. Bukan dia pelaku pembunuhan tersebut. Namun berkat bakat yang ia miliki. Semua orang mengira ialah pelakunya.
Pemuda itu berhenti didepan pohon kersen yang tak lagi kokoh. Dihadapannya, seorang pemuda berjubah hitam telah menantinya. Pemuda itu hanya tersenyum.
"Harusnya kau sudah mati sejak kejadian itu!" ucap pemuda itu. Matanya awas. Ia masih mengingat bayangan masa depan yang berputar dalam kepalanya.
"Vermando Foo, harusnya aku tidak membiarkamu lolos waktu itu!" balas pemuda berjubah hitam itu santai.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan heh? Dendammu telah terbalaskan sepuluh tahun lalu!" ucap Foo geram.
"Apa yang aku inginkan? Hahahaha lucu sekali Foo!" ucap pemuda itu sambil tertawa. Ia bisa melihat wajah Foo yang semakin geram.
"Dendam ku mungkin telah terbalaskan, tapi bukan berarti aku tidak boleh bersenang-senang kan?!"
"Kau...!!!" Foo bertambah geram. Suara gemertak giginya menahan emosi sangat jelas terdengar.
"Untuk apa kau semarah itu Foo? Bukankah orang-orang bodoh itu tak percaya dan takut padamu? Jadi untuk apa kau bersusah payah menghabiskan tenagamu untuk membunuhku dan melindungi mereka semua?" nada mengejek terdengar jelas dari ucapan pemuda itu.
"Itu bukan urusanmu!" ucap Foo sambil melontarkan sebuah dahan pohon kersen yang lapuk tanpa sedikitpun menyentuhnya.
Pemuda itu dapat menghindari serangan yang dilancarkan Foo. Ia tertawa sinis. Memandang lekat kearah Foo.
"Hanya ini kemampuanmu? Kupikir bakat telekinesismu sangat kuat!" cibirnya
Foo tak menanggapi ucapan pemuda itu. Ia terus melancarkan serangan. Melontarkan benda-benda didekatnya kearah pemuda itu. Pemuda itu hanya menghindar tanpa sedikitpun membalas serangan Foo. Seakan ia tengah mengejek bahwa serangan itu tak ada gunanya. Foo tersenyum sinis. Rencananya berjalan lancar.
"Rasakan ini!"
Foo segera melempar ribuan kertas mantera kearah pemuda itu saat pemuda tersebut lengah. Seketika itu juga tubuh pemuda itu ambruk. Ia tak menduga Foo bisa menyerangnya. Ia meronta berusaha melepaskan tubuhnya yang mulai terbakar dari jerat mantera pengikat itu.
"Sekarang siapa yang tertawa heh!" ucap Foo.
Dengan cepat ia menghunuskan pedang yang telah ia persiapkan kearah jantung pemuda itu. Foo tersenyum puas. Ia yakin teror akan segera berakhir. Ia melangkah mundur. Meninggalkan tubuh pemuda tersebut yang mulai hangus. Namun tak lama setelah Foo membalikkan tubuhnya. Sebuah besi dingin menembus tubuhnya. Ia tak dapat bergerak. Darah segar mengalir dari lukanya. Ia tak percaya pedang yang telah ia tancapkan ke jantung pemuda itu kini menembus tubuhnya.
"Kau kira dapat membunuhku hanya dengan kertas mantera? Aku telah menghisap aura kehidupan tiap korbanku dan itu membuat kekuatanku meninggkat. Kertas mantera tak cukup untuk menghentikanku!"
Foo tak dapat menggerakkan tubuhnya. Ia terhuyung. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Tubuhnya ambruk seketika tanpa bisa bersuara sedikitpun.
"Sebenarnya agak disayangkan jika aku harus membunuhmu, tapi apa boleh buat kau akan menghalangiku!" ucap pemuda itu sambil mencabut pedang tersebut.
"Sebaiknya aku bermain dengan tubuhmu!" imbuhnya sambil menjilati darah yang menempel pada pedang tersebut.
***
to be continued

YOU ARE READING
DANUR
Mystery / ThrillerHighest Rangking #10 on Danur *** Ketika kutukan yang telah lama terkubur kembali dibangkitkan bersama dendam dan kebencian.