PART IX

2.4K 52 2
                                        


Matahari mengintip malas diufuk Timur. Seolah enggan menampakkan wajahnya yang tersembunyi dibalik awan. Sisa hujan semalam masih terasa. Hawa dingin menyelimuti pagi yang suram itu.

Batara meringkuk malas diatas ranjang tua berkelambu. Matanya terpejam, namun ia telah lama terbangun. Ia enggan untuk menegakkan tubuhnya. Ia dihantui kematian-kematian yang terjadi disekolahnya. Kata-kata madam Citra semalam masih berdengung dikepalanya.

"Nak ketahuilah, apa atau siapa yang tengah menebar kematian saat ini bergerak lebih cepat dari yang kau kira dan hal ini juga mengincar nyawamu!"

Kalimat itu selalu berdengung didalam kepala Batara. Tiap detiknya, ucapan madam Citra semakin menguat. Ia merasakan kepalanya nyaris pecah. Hanya perlu satu pemicu kecil dan kegilaan akan menguasai nalarnya yang mulai menipis.

Ia berusaha menegakan tubuhnya yang lemah. Tak ada lagi semangat yang tersisa. Sejenak ia melirik kearah jam dinding yang menggantung disalah satu sisi tembok kamar itu. Masih pukul 05.00 pagi. Masih ada waktu untuknya kembali ke asrama sebelum ia terlambat. Ia meregangkan badannya, melemaskan seluruh otot yang menempel pada tubuhnya. Perlahan ia beranjak dari ranjang itu dan berjalan keluar. Ia dapat mendengar suara dua orang yang sedang berbicara begitu ia keluar. Suara pertama adalah suara madam Citra, sedang suara lainnya terdengar seperti suara seorang gadis yang terdengar familiar ditelinganya.

Batara mengikuti arah suara tersebut. Samar-samar ia mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Kau kembali karena masalah itu kan?"

"Ya Madam, aku juga terlibat dalam kejadian itu." terdengar nada penyesalan disana.

Batara sedikit merasa ragu untuk memasuki ruang tengah. Namun ia merasa tidak sopan jika mencuri dengar pembicaan tersebut. Akhirnya ia memutuskan memasuki ruangan tersebut.

"Pagi semua!" sapa Batara, kedua wanita itu menoleh kearahnya.

"Oh kau sudah bangun rupanya!" jawab madam Citra, "maaf apa suara perbin perbincangan kami terlalu keras dan membangunkan mu nak?"

"Oh tidak madam, saya memang sudah terbangun sejak tadi." jawab Batara.

"Tunggu kau benar Batara? Batara Syahrir?" tanya gadis yang sejak tadi berbincang dengan madam Citra.

"Benar, tapi maaf Anda siapa ya?" Batara balik bertanya. Ia merasa tidak asing dengan gadis dihadapannya.

"Aku Mutya, Mutyara Ayu, kau ingat!"

"Kak Mutya, astaga kau benar-benar berubah tidak seperti terakhir kali kita bertemu!"

Mereka berdua terlihat akrab. Mutya memang telah lama akrab dengan keluarga Batara mengingat kedua orang tua mereka adalah rekan bisnis. Namun ada satu hal yang tak pernah bisa ia lupakan tentang gadis itu. Kematian kakaknya berkaitan dengan gadis itu.

"Bat..." ucap Mutya perlahan. Batara menoleh kearah Mutya, menatap langsung kearah matanya.

"Ya kak."

"Aku minta maaf soal kematian kakakmu, seharusnya aku tidak pergi ke Australia waktu itu!" ucapnya sambil menunduk, menyesal.

"Kak Mutya bukan orang yang membunuh kakak ku, ia meninggal karena..." Batara tak dapat melanjutkan ucapannya. Kerongkongannya seolah menebal, lidahnya berubah kelu, rasa sedih itu kembali hadir.

"Itu semua karena kecelakaan kak!"

"Tapi Bat, aku ikut andil dalam kematian kakakmu, dan kini kematian itu terulang kembali dan bisa saja kau..." Mutya memandang sayu Batara, "aku hanya tak ingin mengulang kesalahan yang sama lagi."

DANURWhere stories live. Discover now