AAAAARRRGGGHHHHHH....!!!!
Suara teriakan mengema dari seluruh penjuru asrama. Suasana pagi itu menjadi mencekam. Wajah pucat para siswa penghuni asrama bertebaran disetiap sudut gedung asrama. Mereka tak percaya bahwa mereka akan mendapat sebuah bingkisan kecil tepat didepan pintu kamar mereka. Sebuah bingkisan dari neraka. Potongan-potongan tubuh manusia tertata rapi ditiap pintu kamar asrama. Tak peduli itu adalah asrama putra maupun putri. Semuanya mendapat bingkisan yang sama.
Pikiran mereka dipenuhi oleh pertanyaan yang sama. Siapa yang menjadi korban saat ini. Dan siapapun itu, mereka hanya berharap tak akan mendapat kejutan yang lebih mengerikan dari ini.
"LIHAT DISANA...!!" seru seorang penghuni asrama putri sambil menunjuk sesuatu. Tangannya gemetar. Ia berharap apa yang ia lihat adalah khayalan. Semua penghuni asrama segera memandang kearah mata gadis itu menunjuk. Napas mereka terhenti. Disana, tepat dibatang pohon kersen telah tertancap sebilah pedang berlumur darah. Beberapa burung gagak nampak bertengger disana. Namun ada hal lain yang membuat mereka ketakutan. Sebuah kepala tertancap diujung pedang tersebut. Kepala milik Vermando Foo.
***
"KAMI INGIN ANAK-ANAK KAMI MENDAPAT ILMU PENGETAHUAN DISINI BUKANNYA MENJADI KORBAN PEMBUNUHAN!"
"LEBIH BAIK KAMI SEMUA MERUMAHKAN ANAK-ANAK KAMI!"
"YA BENAR ITU, KAMI TAK INGIN ANAK-ANAK KAMI MATI KONYOL DISINI!"
Kegaduhan terdengar jelas dari ruangan kepala sekolah. Para orang tua meminta anak-anak mereka dirumahkan. Sejak kematian pertama yang menimpa Muhammad Ridho sejumlah orang tua sudah mendesak pihak sekolah untuk merumahkan para siswa. Namun mereka tak pernah melakukannya. Tak perlu. Sampai akhirnya satu per satu korban mulai berjatuhan. Torehan darah manusia telah bertebaran diseluruh sekolah. Teror yang telah lama tertidur kembali bangkit.
"Saya mohon ibu dan bapak sekalian tenang, kami tengah berusaha menuntaskan kasus ini!" ucap salah satu pengurus yayasan, berusaha menenangkan amarah para orang tua.
"DENGAN CARA APA HEH? DENGAN MEMBIARKAN ANAK-ANAK KAMI MENJADI KORBAN BEGITU!" balas salah seorang orang tua siswa, emosi murni mengalir dalam suaranya.
"Mohon Anda tenang, kami juga tidak pernah menginginkan hal seperti ini terjadi." balas seorang dari pihak yayasan. Ia terdengar putus asa.
"TENANG, DENGAN SEMUA TEROR INI APA KAMI BISA TENANG!"
Kepala sekolah tak dapat berbuat banyak. Ia sadar tak mungkin selamanya mereka dapat mencegah kejadian ini.
"Baiklah kami akan lakukan sesuatu!"
***
Puput berlari menyusuri koridor menuju kantin. Ia tak menghiraukan umpatan dan geraman dari orang-orang yang tak sengaja ia tabrak. Tujuannya hanya satu. Segera bertemu dengan Vina.
"VINA...!!! " serunya dari ambang pintu masuk kantin. Ia masih berusaha mengatur napasnya.
Semua orang menatap Puput dengan tatapan heran. Tapi gadis itu tak memperdulikannya. Vina yang mendengar panggilannya melambai kearah Puput. Wajahnya memandang heran.
"Ada apa Put, kenapa kau begitu tergesa-gesa seperti itu?"
"Kau harus melihat ini!" ujar Puput sambil menyerahkan secarik kertas yang telah kusam kepada Vina.
"Apa ini?"
"Buka dan bacalah, ini surat yang ditulis Foo sebelum ia...ah kau baca saja dulu!"
"Foo?" mendengar nama itu Vina nampak agak gusar. Ia masih kesal pada pemuda itu. Walaupun saat ia mengetahui bahwa Foo adalah salah satu korban teror kematian ia merasa terkejut, namun tetap saja ia tak pernah sudi membaca apapun tentang Foo.
"Ada apa ini?" tanya Batara yang datang bersama Omi dan Mulia.
"Aku tak mau membaca surat ini!" seru Vina seraya melempar kertas yang ia pegang. Omi segera mengambil kertas tersebut.
"Memangnya apa isi surat ini?" tanya Omi penasaran.
"Itu surat milik Foo, aku menemukannya saat membersihkan loker miliknya!" terang Puput.
"Coba ku lihat!" Batara menarik surat tersebut. Ia membaca sekilas tulisan itu. Wajahnya berubah tegang.
"A...ada apa Bat? Kenapa kau jadi tegang begitu?" tanya Mulia.
"Paling isinya hanya berharap kita semua menjad korban kematian itu!" cibir Vina.
"Tidak Vin, kau harus membaca ini!" ujar Batara.
Vina mengambil surat tersebut dengan enggan. Sebenarnya ia tak ingin membaca apapun isinya. Tapi entah ia merasakan ada hal lain yang tersembunyi disana.
"Tak mungkin!" ucapnya tak percaya. Ia kembali membaca surat itu berusaha memastikan bahwa itu bukan berasal dari tangan orang yang paling ia benci. Namun ia tahu tulisan itu milik Foo.
"Ada apa?" Omi kembali bertanya.
"Lihat ini!" ucap Vina sambil menunjukkan isi surat tersebut. Omi membaca isi surat tersebut.
Disana tertulis :
'aku tahu dia mengincar nyawa dan kemampuan yang aku miliki. dan aku sadar tak mungkin selamanya aku menghindari kematianku, mungkin aku lolos dari maut sepuluh tahu lalu tapi tidak saat ini!'
"Ja...jadi dia sudah tahu jika ia akan meninggal?"
Mereka berlima terdiam. Mereka tak menyangka bahwa sejak awal nyawa Foo lah yang diinginkan oleh pembunuh tersebut. Vina merasa bersalah karena sempat memikirkan hal buruk tentang Foo.
"SELURUH SISWA HARAP BERKUMPUL KEAULA!"
Sebuah pengumuman dari speaker yang terpasang didekat kantin membuyarkan lamunan mereka.
"Sebaiknya kita keaula, dan tentang surat ini kita bahas nanti!"
Tak ada yang berbicara. Mereka segera menuju aula. Dari kejauhan seseorang mengawasi mereka.
"Akan kutuntaskan tugasku sepuluh dan lima tahun lalu disini!"
***
to be continued

VOUS LISEZ
DANUR
Mystère / ThrillerHighest Rangking #10 on Danur *** Ketika kutukan yang telah lama terkubur kembali dibangkitkan bersama dendam dan kebencian.