Mimpi

258K 23.4K 644
                                    

Yang berpulang selamanya menjadi kehilangan, yang datang adalah mereka yang harus diperjuangkan.

Puas mengamati Jiver. Keya beranjak dari kantin, ia memutuskan untuk pulang ke rumah bundanya. Sementara waktu Keya tidak ingin bertemu dengan Jiver, gadis itu membutuhkan tempat untuk mendinginkan kepalanya. Ia sadar, dirinya masih belum mampu mengendalikan emosi dengan baik, dan meski menghindari bukanlah pilihan yang dewasa, untuk saat ini Keya akan tetap melakukanya. Dia hanya terlalu banyak merasakan kecemasan, hingga menimbulkan gundah berkepanjangan.

"Assalamualaikum, Ma...Keya pulang," teriaknya saat memasuki rumah orang tuanya.

Lastri berjalan tergopoh-gopoh melihat kedatangan anak gadisnya itu. Dahinya mengerut, tanda keharanan dalam dirinya saat ia melihat Keya datang dengan wajah lusuh. Tidak biasanya Keya seperti ini, anak itu adalah anak yang selalu ceria dan bertindak sesukanya.

"Waalaikumsalam, kamu kenapa, Ke?"

Keya duduk di atas sofa ruang tamu. Ia lantas meneguk segelas es jeruk—yang entah milik siapa—berada di atas meja kayu besar di ruang tamu itu.

"Loh loh loh...main minum saja, memang kamu tahu itu punya siapa?"

"Bodo ah, Ma. Aku haus."

"Kalau minuman bekas tamu, gimana?"

Mata Keya membeliak, buru-buru ia meletakkan gelas miliknya kembali ke atas meja. Ia memandang Lastri dengan muka memelas. Sementara sisa air di bibirnya, ia usap dengan kasar.

"Makanya kalau mau minum tanya dulu, bismillah dulu, Ke," ucap Lastri sambil tertawa.

Keya cemberut. Ia sadar, sudah dikerjai mamanya.

"Kenapa tiba-tiba ke sini?"

"Eh Ma, masak apa tadi? Kayaknya harum gini, aku laper. Minta makan dong, Ma."

"Jangan mengalihkan pembicaraan ya, ayo jawab pertanyaan mama."

Keya menghela napasnya. Ia adalah orang yang terbuka, lebih suka menceritakan segala hal yang dialaminya pada sang mama. Mungkin karena anak tunggal, dan ia sangat dekat dengan Lastri, menjadikan Keya selalu bergantung pada wanita itu dan tak pernah bisa berbohong pada Lastri. Mamanya selalu bilang, ekspresinya akan mudah dibaca ketika ia sedang berbohong. Pada akhirnya ia tetap menceritakan segala sesuatunya pada Lastri.

"Mama tanya sama kamu ya, Ke. Apa pantas seorang istri jalan dengan laki-laki yang bukan makhramnya?"

Keya menggeleng. Pertanyaan Lastri membuatnya tak memiliki jawaban selain gelengan kepala, yang berarti tidak. Ia menunduk, menekuri lantai putih di rumahnya. Pikirannya sedang kacau, kalau anak muda sekarang, mungkin menyebutnya galau.

"Kamu ingat sepupumu, Rika?"

Keya mendongak, ia mengingat perempuan itu. Rika adalah sepupunya yang satu setengah tahun lalu menikah ketika baru berusia tujuh belas tahun. Alasannya, bukan karena perjodohan seperti apa yang ia alami, tetapi karena Rika sudah hamil saat masih duduk di bangku SMA, sehingga ia terpaksa dinikahkan dan dikeluarkan dari sekolah. Rika adalah contoh, bagaimana pergaulan saat ini menjadi terlalu bebas, dan menjadikan sebagian besar anak muda kehilangan moralnya. Kenikmatan sesaat yang dibalas dengan kesengsaraan berkelanjutan.

"Atau Ninda, tetangga depan rumah kita itu. Kamu ingat?"

Keya mengangguk. Ingatannya tertuju pada Ninda, teman mainnya dulu yang sudah menikah juga karena sudah terlanjur berbadan dua sama seperti apa yang dialami oleh Rika.

"Pergaulan sekarang itu mengerikan, Ke. Kalau dulu anak muda malu untuk ciuman di depan umum, sekarang nggak lagi malu. Mama, nggak mau kamu kayak gitu. Walau kesannya memaksa, dan membuatmu jadi nggak bebas, tapi menikahkanmu adalah pilihan yang terbaik, mama dan papa nggak bisa menjagamu di luar rumah, kami memiliki kesibukan masing-masing, dan mama tahu kamu orang yang mudah terpengaruhi, mama nggak ingin kamu rusak seperti Rika atau Ninda. Jiver adalah laki-laki baik yang mama tahu, dia anak sahabat mama. Ingat, bagaimana tantemu sempat stress waktu tahu Rika hamil?"

So I Married A SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang