Before (1): Us

263K 22.4K 1.4K
                                    

Seberapa pun jauhnya aku berjalan. Ketika kamu tidak mau mempersilakanku pulang. Sejauh itulah aku akan tetap tersesat.

Berbulan-bulan berada dalam tekanan untuk menyelesaikan skripsi membuat Jiver kini bisa bernapas lega. Minggu lalu ia dinyatakan lulus skripsi setelah melewati sidang dengan penguji. Hasil yang cukup memuaskan, meski tidak menjadi nilai terbaik, namun nilai yang ia dapat cukup bagus. Ia yang notabene adalah aktivis kampus dengan segudang kegiatan yang harus ia bagi antara kuliah, organisasi serta kegiatan lainnya, mungkin cukup bisa berbangga diri ketika apa yang diusahakannya berbuah manis.

Tapi, sepertinya laki-laki itu tak bisa bernapas lega ketika mengingat, ia harus segera bertolak ke Eropa untuk mencari kampus baru. Dirinya akan melanjutkan program pasca sarjana mengambil jurusan yang sama di salah satu kampus di Eropa, bergantung kampus mana yang akan menerimanya. Mungkin sedikit melenceng dari rencana awalnya yang akan sedikit mengulur waktu keberangkatan. Hanya helaan napas yang keluar dari bibir laki-laki itu, bayangan hari-hari sulit yang akan dilaluinya tanpa Keyana sudah menganggu pikirannya.

"Kapan kira-kira keberangkatanmu ke sana?"

Dito memecah hening yang mengekang mereka. Ira hanya menatap anak laki-lakinya dengan raut wajah keruh.

"Setelah wisuda, Pa."
"Dan wisudamu masih beberapa bulan lagi bukan?"
"Ya," jawabnya.

Sebelum wisuda Jiver harus menyelesaikan beberapa masalah terlebih dahulu, seperti revisi naskah skripsinya, menunggu yudisium, dan lain sebagainya. Hal-hal kecil yang tentu saja menguras waktu.

Dito tersenyum tipis. Ia mengamati anak laki-lakinya itu dengan wajah datar. Pria itu selalu bersikap seperti itu pada Jiver, sejak dulu.

"Jangan mentang-mentang di sana kamu bisa menulis tanpa sepenetahuan saya, Jiver!"

Jiver mendongak. Ia tak membalas ucapan Dito, ia biarkan papanya itu berkata semaunya. Bukankah tugasnya hanya menurut pada Dito?

"Mas! Aku tidak setuju, kamu terus-terusan mengatur hidup Jiver! Dia punya kehidupan sendiri, Mas!"
"Diam kamu, Ira!"
"Sampai kapan pun aku tidak akan rela melihat anak dan menantuku terpisah karena ulahmu!"
"Jangan menbantahku!"

Jiver beringsut, ia memeluk bundanya yang menangis. Akan selalu berakhir seperti ini, perdebatan antara kedua orang tuanya. Bunda yang membela dan papanya yang selalu menentang.

"Bunda sudah, aku tidak apa-apa. Hanya dua tahun, Bun. Kalau libur kan aku masih bisa pulang."
"Tapi kamu sudah punya istri, Nak."
"Keyana mengerti Bun. Tidak apa-apa, jaga kesehatan bunda. Aku tidak mau sakit jantung bunda kambuh. Bunda mengerti kan?"

Ira mengangguk, ia seka air matanya lalu tersenyum. Perempuan paruh baya di depannya ini adalah hidupnya, bundanya yang sudah menjaga ia semenjak kecil sampai dirinya sebesar saat ini.

***

"Apa?"

Jiver mengerutkan dahinya saat ia masuk ke dalam kamar Keya dan gadis itu tampak berdiri di depannya dengan tangan yang terlipat ke belakang. Keya masi berada di rumah orang tuanya sejak memutuskan pulang beberapa bulan yang lalu. Dan setiap hari Jiver akan berkunjung ke sana, setelah urusannya di kampus selesai.

"Emh pas kamu sidang skripsi kemarin kan aku nggak sempat dampingin kamu, karena...karena itu."
"Apa?"

Jiver menunggu jawaban Keyana dengan gemas. Istrinya itu malah meringis.

"Karena aku malu hehe..."
"Malu?"

Keya mengangguk.

"Kan ada kakak tingkat yang sidang bareng kamu, ya aku malu dong."
"Kenapa malu?"
"Ya pokoknya malu! Ish kamu ini."

So I Married A SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang