If We Have A Baby...

280K 23.9K 774
                                    

Kamu akan selalu menjadi pilihanku di antara banyak pilihan sempurna yang Tuhan sediakan. Sebab, bukan sempurna yang kubutuhkan, melainkan kamu yang mau berjuang bersamaku menciptakan kebahagiaan sempurna untuk kita.

****

Jiver tampak mengamati ruko yang mereka jadikan sebagai tempat usaha percetakan dan sablon kaus. Usaha ini hasil patungannya bersama beberapa teman kampusnya, Amir, Yonat dan Eki. Meski, sebagian besar modalnya adalah hasil uang tabungannya yang sudah ia sisihkan semenjak SMP. Ia bahkan berencana suatu saat nanti akan memperluas usahanya sehingga bisa menciptakan lapangan pekerjaan, begitu prinsipnya ketika awal membangun usaha ini satu tahun yang lalu, dan hasilnya memang lumayan.

Yonat tampak sibuk membuat desain untuk pesanan kaus teman satu kampus mereka. Laki-laki berkacamata itu bisa seharian duduk di depan laptopnya hanya untuk menyelesaikan beberapa desain kaus atau banner yang dipesan oleh anak-anak kampus serta beberapa masyarakat umum di sekitar area kampus.

Jiver menyesap kopi instan yang mulai mendingin, bersamaan dengan kehadiran Amir yang baru tiba usai mengikuti kelas di kampus. Amir memang satu kelas dengan Jiver, namun karena ia tidak lulus beberapa mata kuliah, sehingga mau tidak mau ia harus mengulang. Hidup memang tidak selamanya mulus seperti jalan cerita yang telah tersusun dalam sebuah novel, ya seperti Amir, salah jurusan membuatnya setengah hati menjalani kuliah.

"Lo pada nggak laper?" Tanya Amir sewaktu melihat dua temannya itu sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Beliin," sahut Yonat, pandangannya masih tak berputus dari layar laptop.

"Enak amat itu mulut bebek lo, Nat. Minta dibeliin, lo kata gue pembantu lo?"

"Mirip, Mir. Cocok," kata Yonat lagi, ia tergelak.

"Sialan lo."

"Udah nggak usah ribet. Biar gue yang beli."

Amir menghela napas lega, Yonat tak ambil pusing, yang penting ia makan. Jiver memang selalu baik dan selalu menjadi penengah disaat mereka berdebat. Jiwa kepemimpinan, mereka biasa menyebutkan begitu.

"Tapi, mungkin agak lama. Gue mau ketemu Mas Arion."

Amir menegakkan tubuhnya yang baru saja ia sandarkan di kursi panjang. Mendengar nama Arion, mendadak Amir diliputi khawatir pada Jiver.

"Biar gue yang pesen makan," ucapnya, melirik sekilas pada Yonat yang tampak tak peduli.

"Gue pergi dulu."

Laki-laki itu pergi tanpa berpikir panjang tanpa menoleh pada Amir, tanpa memberi kesempatan Amir untuk mencegahnya lagi. Memang, apa yang harus ditakutkan dengan pertemuannya dengan Arion? Kadang Amir memang terlalu berlebihan.

***

Aroma Americanno coffee tampak menguar di sana. Jiver masih menatap kakak laki-lakinya itu, sosok yang sudah tiga tahun lamanya tidak pulang karena memang telah menetap di Skotlandia, semenjak menyelesaikan S2nya di sana, hingga kini telah menikah dengan warga negara kebangsaan Skotlandia yang merupakan teman masa kuliahnya.

Tidak ada yang berubah dari Arion, mata laki-laki itu masih tetap tajam ketika menatap lawan bicaranya. Arion cenderung tidak banyak berucap, ia lebih suka to the point daripada basa-basi.

"Papa ingin kamu kuliah di luar negeri. Kamu memiliki pilihan Inggris, Jerman atau Belanda. Atau kalau kamu mau, aku bisa mengajukan pada papa biar kamu kuliah di Skotland saja," kata Arion membuat Jiver yang tadi diam sambil memerhatikan kopinya yang masih utuh.

"Aku punya istri, Mas. Bagaimana mungkin aku meninggalkannya?"

Arion mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat ia pernah ada di posisi yang sama dengan Jiver.

So I Married A SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang