Sorry

269K 22K 638
                                    

Sisi di mana saya berdiri adalah sisi yang tidak pernah kamu lewati dan sisi di mana saya diam adalah sisi yang selalu kamu anggap mati, pada akhirnya kamu tidak pernah berjalan pada sisi yang saya tempati.

                  [trailer by disonansi]

Perasaan wanita itu memang sensitif. Dan perasaan pria memang tidak ditakdirkan menjadi sensitif. Perempuan cenderung berpikir menggunakan perasaan, sedangkan pria cenderung berpikir menggunakan logika atau pikiran.

Perasaan sensitif Keya itu sungguh menyiksa. Perasaan merasa diabaikan oleh Jiver akhir-akhir ini. Laki-laki itu bisa sangat larut pulang ke rumah, saat Keya sudah tertidur di atas sofa, dan keesokan paginya Keya mendapati dirinya sudah berada di dalam kamar. Selalu seperti itu, dan sudah berlangsung selama hampir satu bulan ini. Entahlah apa yang dikerjakan laki-laki itu, atau hanya perasaannya saja, ia seperti tak mengenali Jiver. Saat terbangun di pagi hari pun, Jiver masih tertidur, mengingat jam kuliah Jiver sudah tidak sepadat dirinya, jadi laki-laki itu jarang datang ke kampus ketika pagi. Tidak seperti Keya yang nyaris selalu masuk kuliah pukul tujuh, seperti anak sekolah.

Come on! Sudah mahasiswi tapi jam masuk masih seperti anak SD. Kadang, Keya ingin protes pada bagian akademik yang mengatur jam perkuliahan. Sampai ia sadar itu adalah tindakan yang maha sia-sia.

Huft

Keya membuang napas. Bakso di depannya begitu menggugah selera, tapi tak mampu menumbuhkan rasa laparnya. Ia bukannya ingin memakan semangkuk bakso, lengkap dengan bakwan, tahu dan teman-temannya. Tapi, Keya rindu Jiver, Keya ingin menghabiskan banyak waktu dengan laki-laki itu.

"Lo ngapain sih bengong melulu? Itu bakso kalau dianggurin buat gue aja. Kasihan udah dibeli tapi nggak jadi dibelai sama mulut," cerocos Maya sambil mengamati semangkuk bakso Keya yang masih utuh, sedangkan miliknya sudah menyisakan mangkuk dan remah-remah bihunnya saja.

"Mas Jiper aneh."

"Huh?"

Maya menautkan alisnya. Mereka sedang berdua saat ini, tak ada Lily bersama mereka. Gadis itu sedang tes wawancara untuk seleksi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa di tingkat Fakultas.

"Dia selalu pulang malem banget, terus pas gue bangun dia masih tidur. Gitu aja terus."

"Bukannya udah biasa?"

Keya mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Kali ini beda. Gue ngerasa kita agak jauhan sekarang."

Maya mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja kantin. Sambil mengamati Keya dan sok sibuk memikirkan segala kemungkinan, mengapa sifat Jiver tiba-tiba saja berubah.

"Udah berapa lama?"
"Apanya?" Keya menatap Maya bingung, membuat Maya mendengus menatap Keya sebal. Tuh kan lemotnya kambuh.

"Lo ngerasa dia berubahlah."
"Oh...emh hampir sebulan sih."

Maya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu sibuk berpikir lagi, barangkali ada salah satu teori Newton, Bandura, Freud atau siapalah itu yang bisa dikaitkan atas hipotesis sementaranya tentang Jiver.

"Gue sih punya hipotesis gini, Key. Hipotesis doang loh ya ini, yang artinya kebenarannya perlu diuji dulu. Jadi, kemungkinan itu..."

"Ishhh Mayyyy! Apaan?"
"Sabar atuh, gue minum dulu."
"Buruan!"
"Jadi, kayaknya Mas Jiper yang aduhai idaman semua pembaca itu s-e-l-i-n-g-k-u-h," kata Maya mengucapkan kata itu pelan dan penuh penekanan.

So I Married A SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang