In My Arms

257K 23K 1.8K
                                    

Melupakan adalah, ketika kamu mampu mempercayai orang lain untuk berbagi duka dan bahagia setelah terluka.

"Ke! Dengerin aku dulu. Kamu salah paham. Aku tadi ada urusan sama Acha, kita habis dari kontrakan anak-anak buat bahas pemira. Dia nggak bawa kendaraan buat balik ke kampus jadi aku yang mengantar," jelas Jiver dari balik pintu kamar Keya.

"Ya kenapa harus Mas gitu? Mas tahu kan dia suka sama Mas? Sengaja boncengin dia, mau selingkuh kan?"

"Anak-anak nggak ada yang balik ke kampus, Ke. Dan aku harus bertanggung jawab buat nganterin dia ke kampus lagi."

"Kenapa harus kamu?"

Jiver menumpukan kepalanya ke pintu, ia sedang banyak pikiran dan Keya membuat kepalanya bertambah pening.

"Karena aku pemimpin, aku harus bertanggung jawab atas anggota pengurus. Termasuk Acha."

"Bilang aja kamu suka sama dia!"

Jiver mengepalkan tangannya. Sepertinya percuma.

"Sudah aku bilang sebuah hubungan akan berhasil kalau kita saling percaya! Terserahmu, Ke. Aku lelah, seharusnya kamu bisa mulai dewasa, aku nggak menuntutmu buat dewasa, tapi aku harap kamu sadar akan kapasitasmu sebagai istri!" Kata Jiver sedikit meninggi.

Ia lantas meninggalkan apartemen. Kembali ke kampus karena besok ada acara debat terbuka calon presiden BEM yang baru.

"Kamu aja nggak pernah percaya sama aku, Mas. Kamu punya rahasia yang aku sendiri enggak tahu, kamu nggak mau berbagi sama aku loh. Aku ini istri kamu tapi nggak tahu apa-apa."

Keya menangis, ia menjelma menjadi anak kecil. Mungkin efek datang bulan yang memengaruhi emosinya hingga sedemikian rupa. Jiver memang benar, ia tidak dewasa, ia bingung bagaimana bersikap dewasa.

Tumbuh sebagai anak tunggal dengan segala fasilitas dari orang tuanya, membuat ia cenderung bersikap egois dan kekanakan. Keya tidak pernah belajar menjadi dewasa karena ia merasa tak memiliki tanggung jawab apa pun, sebelum menikah dengan Jiver. Lain lagi kalau ia memiliki adik. Mungkin ia bisa belajar dewasa untuk menjaga adiknya. Sayangnya, Tuhan hanya menitipkannya seorang pada kedua orang tuanya.

"Mas Jip kok diem aja sih? Iya aku tahu aku salah, tapi kenapa diem terus coba?"

Keya masih mengoceh sendiri, ia tidak tahu kalau Jiver sudah pergi meninggalkannya sendiri. Disusupi rasa penasaran, Keya membuka pintu kamarnya, ia celingukan sewaktu tak mendapati Jiver di sana. Gadis itu memutuskan untuk mencari Jiver di setiap ruang apartemen. Nihil, ia tak menemukan Jiver di mana pun. Keya lalu menonton televisi sembari menunggu Jiver, instropeksi pada dirinya sendiri atas sikapnya pada Jiver. Ia sedikit menyesal.

***

Kepala Jiver sedikit pusing, ia sudah meminum dua gelas kopi untuk menghalau rasa kantuk. Semalam ia tak tidur, setelah kembali ke apartemen, ia mendapati Keya tidur di atas sofa. Jiver memutuskan untuk menggendong Keya dan menindurkannya di kamar. Setelah itu, ia memilih untuk duduk di dalam kamarnya, membuka beberapa buku referensi untuk skripsinya. Target papanya lulus tepat empat tahun, tidak boleh lebih. Dan sebentar lagi ia sudah semester delapan, harus mulai mempersiapkan skripsinya jika ingin segera lulus. Jika ingin lulus tepat waktu ia harus segera menyelesaikan skripsinya yang sedikit tertinggal karena keikutsertaannya dalam organisasi. Bukan rahasia lagi jika kebanyakan anak organisasi pasti telat untuk lulus. Beruntung judul skripsinya sudah di-acc oleh dosen pembimbingnya kemarin, dan ia sudah mulai mencicil bab skripsi. Andai ia tak ikut organisasi, mungkin ia sudah diwisuda dua bulan lagi bersama temannya yang lulus tepat tiga setengah tahun.

So I Married A SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang