[12] Kenyaman Sedia Kala

6.6K 322 36
                                    

"Hachim." Amara mengosok-gosok hidungnya yang gatal, karena terlalu seringnya menghirup debu saat membantu membersihkan alat-alat untuk melakukan ritual.

"Ra, kalau masih sakit kamu istirahat atau kamu temani Melda di puskesmas." Ryan mendekat sambil menepuk-nepuk tangannya membersihkan kotoran yang menempel saat ia mengangkat tulang belulang.

Amara mencibir membalas perkataan Ryan, Amara tidak menyukai kalau dirinya dianggap lemah. Amara keluar ruangan mengabaikan Ryan seraya membuang sampah, lalu mendekati Aday yang sedang duduk karena selesai diobati.

Terlihat dari perban yang melekat di tubuhnya, Aday memperhatikan sekilas Amara yang duduk di sebelahnya. Lalu sibuk kembali meneliti luka-luka yang diperbani.

Amara menatap kegiatan yang dilakukan warga membersihkan ruangan, ada yang berdiskusi menyapu dan mengangkut barang-barang besar.

Ryan yang melihat Amara dan Aday, segera menghampiri walau sediki tertatih-tatih. Amara yang melihat Ryan yang mendekat, mendesah lega. Karena tak perlu waktu yang lama ia harus menahan pertanyaan yang timbul secara marathon di otaknya.

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Amara cepat, bahkan sebelum Ryan sempurna berhenti.

Ryan yang baru sampai langsung duduk di sebelah Amara, lalu ia mengangkat bahu. Ryan mulai sibuk memperhatikan tumpukan tulang belulang yang menumpuk.

"Kepala Desa sudah menghubungi orang tuaku, dan—"

"Itu ngapain bawa cangkul segala?" potong Amara histeris melihat beberapa warga membawa cangkul melewati mereka.

"Ck, kebiasaan banget sih." Aday mendorong kepala Amara pelan, heran dengan kebiasaan Amara.

Ryan yang melihatnya hanya mengelang-gelengkan kepala pelan lalu melanjutkan, "Sebelum itu, para warga berinisiatif memakamkan para tumbal di Pemakaman umum Desa Purun."

Amara hanya ber'oh' ria menanggapinya. Memperhatikan beberapa warga yang mulai mengangkut sedikit demi sedikit tulang belulang untuk segera dimakamkan. Amara yang sedang terduduk mengerjap-ngerjap, berdesis, dan menyipitkan matanya tajam.

"Anya dan para antek-anteknya, mereka kurang kerjaan apa sampai melakukan hal-hal yang merugikan seperti ini." Amara mengeluarkan 'unek-unek'nya.

"Lagi pula mereka gak pikir apa akibatnya atas perbuatan mereka, lihatkan buk—"

"Sht, sht. Udahlah, Mar, yang penting kan semua sudah selesai. Tinggal tunggu langkah apa yang diambil keluarga Ryan." Aday memotong ucapan Amara, karena Aday tau Amara tidak akan berhenti berceloteh kalau belum puas.

"Tap—"

Ryan bangkit dari duduknya, membuat protes Amara terhenti. Aday dan Amara memperhatikan Ryan yang melangkah menjauh, Ryan berhenti memberi isyarat dengan kepalanya sekilas menunjuk Kepala Desa purun, lalu lanjut berjalan.

Amara bangkit mulai mengerti seraya berjalan, menoleh ke arah Aday berkata, "Ayo, pemakamannya akan di mulai."

Aday menganguk-angukan kepala, mulai bangkit berjalan menyusul langkah kaki Amara.

***

Pemakaman sudah selesai dengan khidmat. Aday, Amara dan Ryan sedang mengistirahatkan tubuh mereka di ruang tamu.

Lelah menjalani prosesi pemakaman yang terbilang cukup panjang dengan beberapa petuah dari sesepuh Desa Purun yamg ikut serta dalam prosesi pemakaman.

"Apa kata orang tua kamu, Yan?" Amara memecah keheningan yang menyelimuti mereka.

"Mereka menyerahkan keputusan di tanganku, asalkan rumah ini menjadi bermanfaat bersama" Ryan memijat keningnya perlahan.

"Kepentingan bersama? Memangnya ortu kamu gak mau ngelakuin hal-hal yang lain?" tanya Aday menanggapi pernyataan Ryan. Sebab, rumah ini kan termasuk warisan dari nenek Ryan.

Misteri Rumah TuaМесто, где живут истории. Откройте их для себя