09

68.5K 15.3K 5.1K
                                    

November 2016, memasuki musim gugur dan berarti sudah bulan ke empat Mark bersama dengan time turner-nya.




Dan secara tidak langsung, Choi Esther.

Di musim gugur yang dingin begini, pipi pucat dan bibir Esther tampak lebih memerah dari biasanya. Benar-benar seperti snow white ㅡdan itu agak mengganggu, menurut Mark.

Karena...

"Temen lo cantik ya, nggak kalah sama cewek-cewek IOI," celetuk Haechan saat ia dan Mark berjalan di belakang Esther saat baru saja sampai di sekolah.

"Hah? Siapa? Kapan? Dimana?" tanya Mark gagap.

"Kok lo yang salting deh?"

"Ih siapa? Enggak."

"Samperin tuh, mumpung jalan sendirian," Haechan terkekeh.

"Emang selalu sendirian kali," timpal Mark. Seingatnya memang Esther jarang berbaur dengan manusia lain.

"Kenapa sih?"

"Nggak tau, alergi manusia kali."

"Ya emangnya dia apaan...?"

"Bidadari..." ujar Mark reflek, lalu segera menampar pipinya sendiri saat sadar apa yang baru dia ucapkan.


Haechan tertawa tertahan setelah sempat bengong sebentar. Sementara Mark berusaha mengelak dari kelakuannya barusan.


"Cheonsa sunbaenim!" (*kak bidadari) teriak Haechan sebelum berlari ke kelasnya, meninggalkan Mark yang membeku di tempat.



"Mark Lee?" ujar Esther datar saat berbalik dan melihat Mark.

"Hai. Hehe," Mark melambai sambil tertawa garing. "Sendirian?"

"Hm," jawab Esther.

"Oh."

Mereka berjalan bersama walaupun agak berjauhan.

Sejak taruhan yang mereka lakukan empat bulan yang lalu, memang frekuensi pertemuan mereka menjadi semakin sering. Walaupun ketus, Mark tahu Esther sebenarnya sama seperti orang lain ㅡbutuh teman.
Tapi Esther selalu menjaga jarak, sangat tertutup, dan jarang sekali menceritakan tentang dirinya sendiri.

Apa karena Mark terlalu famous?





"Kok udah lama aku nggak dipanggil Murgly?" tanya Mark saat mereka kebetulan satu kelompok di kelas bahasa Inggris.

"Kenapa jadi aku akuan?" Esther mencibir.

"Well, kita kan udah kenal akrab selama empat bulan," jawab Mark cengengesan.

"Akrab dari mana..."

"Kita kan berbagi rahasia. Hehehe."

"Why so childish," Esther tersenyum tipis.

Sial, kenapa cantik?

Mark mengumpat dalam hati.

"Kalo nggak mau jadi temen..." ujar Mark lirih. "Kita pacaran aja mau?"

Walaupun bercanda, Mark sudah mengantisipasi reaksi salah tingkah, tersipu, atau bahkan pingsan. Tapi Esther hanya menghela nafas lalu memukul pelan jidat Mark dengan pulpen.

"Berisik," ujarnya datar sambil mendorong buku yang sudah ditempeli beberapa sticky notes.

Mereka melanjutkan pekerjaan dengan normal karena Esther memaksa Mark menciptakan suasana yang kondusif dan membosankan.
Sisi baiknya, tugas mereka selesai tepat waktu sementara kelompok lain masih sibuk.

"Huaaagh," Mark menggeliat sambil menguap di kursinya.

"Barbar banget," komentar Esther sambil mengemasi barang-barangnya. "Bye, Murgly."

"Hey," Mark menjegal lengan Esther. "Buru-buru banget sih?"

"Apa lagi?" tanya Esther malas sambil menepis cengkeraman Mark.

"Ada yang mau aku omongin, penting."

"Apa?"

"Tentang music box itu... Jadi kemaren..."

"Choi Esther?"
Kalimat Mark terputus saat seseorang memanggil nama Esther dari pintu kelas.

"Ya?"

"Dicari Yoon ssaem. Sekarang."

Esther membawa tasnya lalu melirik Mark.
"Nanti aja deh ya," katanya. "Awas kalo nggak penting!"

"Iya galak," timpal Mark. "Pergi sana."

***


Hampir semua siswa menyeret langkah dengan wajah lelah dan kedinginan saat bel pulang berbunyi. Tapi Mark tidak, dia benar-benar harus bertemu Esther ㅡdan waktunya tidak banyak sebelum jemputan datang.

Untung saja tidak sulit menemukan Esther yang berjalan sendirian tanpa ekspresi dari kelas Agama. Sepertinya memang sengaja keluar paling terakhir karena tidak mau berdesakan dengan banyak orang.

"Murgly," ujarnya saat Mark berdiri di depannya dengan terengah-engah. "Ngapain lari-lari segala sih?"

"Takut kamu keburu pulang," Mark menjawab sambil mengatur nafas.

"Kan masih ada besok~"

"Ah kelamaan, ini penting," kata Mark.

Esther berjalan disusul Mark di sampingnya.
"Apa?"

"Aku mimpi aneh, tentang music box itu."

Ekspresi Esther berubah, dia menunggu Mark melanjutkan.

"Aku mimpi balerina di kotak musik itu hidup, terus dia ngomong sesuatu..." sambung Mark.

"Ngomong apa?"

"Nah itu dia," Mark meringis. "Aku langsung lupa waktu bangun tidur.

Esther meniup poninya kesal.
"Penting banget, loh."

"Bukan itu intinya," kata Mark. "Aku pikir mungkin kamu pernah mimpi yang sama? Waktu baru punya benda itu?"

Esther menghentikan langkahnya.



Inikah waktunya?

Apa ini pertanda kalau ia memang harus segera memberi tahu Mark tentang sisi gelap music box itu?

"Mark, denger ya," ucap Esther setelah menghela nafas dalam-dalam. "Jadiㅡ"


"Hyung!" Lee Jeno berlari dari ujung koridor.

"Oy," seru Mark.

Jeno berhenti di depan mereka, sambil mengernyit heran.
"Lo ngapain sih disini?"

"Ada perlu," jawab Mark sekenanya. "Kenapa sih? Kok kayaknya panik banget?"

Ekspresi Jeno berubah menjadi tegang dan ketakutan.
"Jaemin, hyung."

"Jaemin? Kenapa? Dia sementara tinggal sama orang tuanya kan sambil masa pemulihan?"

"Itu dia masalahnya," Jeno nyaris berbisik sambil menarik Mark menjauh dari Esther.

"Gimana?"

"Gue tanya ke kembaran dia, Jaeyoon ㅡsoalnya Jaemin nggak ngehubungin kita kan dari kemaren pulang sekolah?"

"Iya juga ya. Terus gimana?"

"Jaemin...... nggak ada di rumahnya, hyung. Dia nggak pulang ke Incheon," ujar Jeno dengan suara bergetar.

"What the fuck?!"
.
.
.
.
.
ㅡtbc
another spin off of 'nowhere ; na jaemin' read the complete story here smallnoona

Backup ; mark lee ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang