Time flies when you are having fun.
True as fxxk, pikir Mark.
Rasanya baru kemarin Mark berguling-guling di lantai kamar Esther sambil menertawakan kekonyolan film Unaccompanied Minors, The Cabin in The Woods, hingga Real. Tapi sekarang Esther sudah duduk bersandar lemah di kasur rumah sakit, seakan-akan segala kegilaan yang mereka lakukan selama hampir tiga bulan terakhir hanya mimpi belaka.
"Awas ya kalo nangis," kata Esther begitu melihat Mark mulai menatapnya sedih. "Aturan utama masuk kesini; nggak boleh sedih."
Mark mendengus.
"Kepedean, siapa juga yang sedih?" Mark berbohong karena tahu itu yang Esther inginkan. "Sejak kapan kamu masuk rumah sakit? Kenapa nggak bilang? Sekalian aja kabarinnya nanti kalo udah mati.""Heol, ngambekan," cibir Esther. "Aku pingsan, Murgly. Kemarin ㅡkatanya, soalnya aku juga nggak inget apa-apa."
"Pingsan kenapa?"
Esther mengangkat bahu.
"Entahlah. Mungkin jantung ini mulai banyak ulah sebelum berhenti total."Diam-diam Mark mengeratkan rahang. Jari-jarinya terkepal erat karena tidak tahan harus bersikap normal melihat Esther begitu tenang, bahkan melarang siapapun bersedih di depannya.
"Berapa... berapa lama lagi?" tanya Mark nyaris tak terdengar.
Cukup lama sebelum Esther akhirnya memecah keheningan diantara mereka.
"Nggak tau. Aku udah lepas alat itu sejak beberapa hari yang lalu.""Pasti berkurang banyak karena kamu jauh lebih banyak bergerak. Maaf, harusnya aku nggak kasih ide wishlist ituㅡ"
"Mark," potong Esther. "Jangan minta maaf. Itu ide paling keren yang pernah aku dapet. I thank you, very much."
"Tapiㅡ aku nggak memperhitungkan berapa banyak detak jantung yang terbuang sia-sia. Harusnya... yang penting kamu ada disini lebih lama," kata Mark.
"Sia-sia?" ulang Esther. "Nggak, Mark. Itu semua sama sekali nggak sia-sia!"
"Sia-sia lah, harusnya setiap detak jantung kamu itu dijaga. Semua itu terbatas, kan?"
Esther tersenyum simpul.
"Lebih baik aku kehilangan banyak detak jantung tapi bahagia daripada menjaga setiap detak jantung kayak dulu tapi hidup aku membosankan," ujarnya.
"Aku bahagia, Mark. Nggak pernah merasa sehidup ini."Mark tidak tahan lagi.
Ia menahan isakannya tapi air mata tetap meluncur dari sudut-sudut matanya. Kenyataan bahwa Esther memang cepat atau lambat akan pergi selamanya membuat Mark merasa kesepian. Bahkan saat Esther masih disini."Murgly, udah aku bilangㅡ janganㅡ ah, shit."
Mark tercengang saat melihat Esther menunduk, tapi dengan jelas butir-butir air berjatuhan dari wajahnya. Untuk pertama kalinya ia melihat Choi Esther menangis.
"Esthㅡ"
"Aku melarang semua orang sedih di depan aku, kamu pikir kenapa?" Esther mengangkat wajahnya yang basah. "Karena aku nggak mau sedih juga. Aku berusaha kuat, aku mau mati dengan tenang dan bahagiaㅡ"
"Bodoh," potong Mark dalam isakannya. "Aku juga nggak mau sedih, tapi aku punya perasaan!
Iya, kenyataannya aku sedih, aku nggak bisa bayangin kamu mungkin udah nggak ada dalam hitungan minggu? Atau hari? Atau bahkan jam?"Esther menatap Mark nanar dengan mata berkaca-kaca. Perlahan ia mengangkat jari telunjuknya mendekati dada Mark.
"Iya, aku mungkin nanti secara fisik aku nggak ada lagi," ia menyentuh tempat jantung Mark berdetak, tersenyum. "Tapi selama kamu mau, aku bisa terus ada ㅡdi sini."Bibir Mark bergetar sebelum air matanya tumpah. Ia menarik tubuh ringkih Esther ke pelukannya.
"M-mark?"
"Walaupun cuma sebentar, tapi kamu salah satu temen terbaik yang pernah aku punya."
Tidak seperti biasanya, Esther membalas pelukan Mark. Ia tertawa sambil tetap sesenggukan.
"So cheesy," ujarnya. "Selama ini aku nggak punya banyak temen, aku nggak menyangka temenan sama orang semacam kamu bakal seasik ini."Mark rasanya ingin berteriak, tapi ini rumah sakit. Tapi yang bisa ia lakukan hanya mempererat pelukannya.
"Pokoknya kamu harus hidup lama, lulus dengan nilai bagus, kuliah sampai S3, go international sama grup kamu apalah itu namanya, menikahi istri yang cantik, dan punya anak yang lucu-lucu," kata Esther panjang lebar. "Oh iya, jangan lupa sesekali tengok aku. Janji?"
Mark tertawa kecil.
"Tumben banyak ngomong. Iya ㅡaku janji.""Good," ujar Esther pelan. "I love you, Murgly."
"Wow, nggak salah denger?" Mark tertawa. "Akhirnya aku nggak bertepuk sebelah tangan lagi?"
"Hm... nggak jadi deh," kata Esther. "Udah lepasin, aku sesak nafas."
Setelah Mark melepaskan tangannya, Esther membersit ingus di lengan jaket Mark sebelum duduk sepeti semula.
"EW! GROSS!" Mark menatap jijik jaketnya yang malang. "Gantian sini aku ingusin!"
"Heh, nggak boleh mengganggu ketenangan pasien!" kata Esther enteng. "Lagian salah sendiri bikin aku nangis, rasain tuh ingus."
Mark hanya bisa berdecak sebal.
Tapi dalam hati ia lega sudah menumpahkan emosinya, dan bahkan Esther menunjukkan perasaannya selama ini alih-alih pura-pura semuanya baik-baik saja seperti sebelumnya. Jarang sekali Esther mau terbuka begitu."Ya ampun, aku baru inget," Mark menepuk jidatnya. "Aku harus besuk orang lain, penting."
"Siapa?" tanya Esther.
"Alice. Masih inget?" tanya Mark sambil melepas jaket beringusnya.
"Oh... iya," jawab Esther. "Kalian kenal sedekat itu? Dia kenapa?"
"Ya, lumayan. Rumit deh pokoknya," kata Mark. "Nggak tau sakit apa, tapi dia ada di rumah sakit ini juga."
"Oh..." gumam Esther. "Jangan-jangan kamu niatnya mau nengokin dia ya? Bukan kesini? Cieee ternyata yang itu gebetannya~"
Mark memutar bola mata.
"Bukan, gebetanku yang lagi nunggu di depan kamar ini.""Hah? Maksudnyaㅡ Eri eonni?" Esther menyebut nama kakaknya.
"Iya," Mark bangkit dari kursi dan memakai ranselnya. "Nggak dapet adiknya, kakaknya boleh juga."
"Ish, Just Murgly being Murgly," desis Esther, kegarangannya kembali muncul. "Udah deh buruan pergi sana."
"Iya, iya ini mau pergi," Mark mengacak poni lebat Esther. "Kangenin ya, harus."
"MURGLY!"
.
.
.
.
.ㅡtbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Backup ; mark lee ✔ [revisi]
Paranormalwas #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an au ▫adult jokes and profanity #1 190318 #2 141117 #3 021117 #4 251017 #9 151017 #13 141017 #19 in pa...