24

54.1K 13K 1.1K
                                    

"Maksudnya apa?" tanya Mark panik. "20700000 ㅡah, kenapa angkanya berkurang terus? Ini maksudnya masih banyak, kan?"

Esther menggeleng lemah.
"Enggak, Mark. Dalam satu hari jantung manusia berdetak sekitar 115000 kali ㅡkamu hitung aja ada berapa hari lagi."

Menyuruhnya berhitung saat sedang shock begini, Esther itu bodoh atau kenapa?
"Choi Esther, aku tanya," Mark mencengkeram bahu Esther. "Berapa lama lagi?"

Esther sempat terkejut dengan perlakuan Mark, tapi tak lama ekspresinya kembali tenang seperti biasa.
"Sekitar lima sampai tujuh bulan lagi ㅡtergantung aktifitas," jawab Esther lirih.

Cengkeraman Mark mengendur sebelum kedua tangannya jatuh lemas menggantung di samping badan.
Sekarang semuanya terasa terjawab dan masuk akal.

Kenapa selama ini Esther jarang terlihat beraktifitas berat di sekolah, kenapa ia tidak banyak bergaul dengan siswa lainnya, kenapa wajahnya pucat seperti snow white...
Ini semua karena dia jantungnya memiliki batasan dalam berdetak. Tapi kenapa?

"Kenapa bisa gini?" tanya Mark parau.

Esther tersenyum tipis.
"Itu tadinya alasan aku undang kamu ke rumah," ujarnya. "Sebenernya ceritanya panjang ㅡtapi intinya aku ceroboh. Kamu tau, aku terlalu ambisius dalam belajar, kan?
Waktu SMP aku sakit herpes dan harus tinggal kelas, jadi waktu time turner ini ada aku langsung manfaatin semaksimal mungkin. Aku kadang melompat terlalu jauh, dua atau tiga hari ㅡbahkan seminggu..."

Mark tercekat mendengar pengakuan Esther. Ia menahan nafas saking tegangnya.

"Nah, mungkin karena aku terlalu berlebihan ㅡloop dan sistem waktunya jadi kacau. Dan mungkin sebagai penaltinya masa hidup aku berkurang."

"Mungkin? Kamu nggak yakin atau nggak tau?"

"Dengerin dulu," tukas Esther. "Setahun kemudian ㅡatau dua tahun yang lalu, aku sakit. Vonisnya jantung koroner karena kelelahan dan stress, nah sejak itu aku kenal alat ini."

Mark menatap mesin di telapak tangannya yang ditunjuk Esther. Ia merinding melihat angka yang semakin berkurang dengan sangat cepat.

"Jadi... kamu emang udah sakit, dan usia kamu berkurang karena penalty time turner sialan itu?" tanya Mark.

"Exactly," jawab Esther tegar. "Sekarang kamu tau kan kenapa aku nggak banyak bergerak dan bergaul sama orang-orang? Aku nggak aneh, Murgly ㅡaku terbatas."

Mark tertegun. Hati dan matanya terasa panas melihat Esther dengan tenang mengatakan semua itu seakan-akan hanya hal sepele. Seakan-akan tidak peduli nyawanya mungkin hanya bertahan sampai akhir tahun.

"Mark?" tegur Esther. "Tuh, kanㅡ makanya aku tadinya nggak mau bilang. Aku nggak mau diperlakukan kayak orang mau mati. Udah dong, jangan nangis."

"Kenapa..." Mark mengusap sudut-sudut matanya. "Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?"

"Kan aku udah bilang..."

"Kalo aku tau, aku nggak akan nyusahin kamu, nggak buang-buang energi kamu yang berhargaㅡ"

"Mark, shhh," Esther menggeleng. "Aku nggak menyesali apa yang udah terjadi kok. Ini pertama kalinya aku punya temen lagi sejak SMP. Walaupun kamu menyebalkan, tapi jadinya hidup aku nggak flat..."

Mark menubruk Esther, memeluknya erat-erat.
"Jangan mati, please," bisik Mark.

Dalam hati Mark juga merasakan hal yang sama selama ini. Esther telah menjadi teman yang menyenangkan, sedikit banyak telah membantunya dalam banyak hal. Yang paling penting, time turner ini, benda ini yang secara tidak langsung menghubungkan mereka.

"Manusia bukan Tuhan, Mark," ujar Esther tenang. "Semua yang hidup pasti mati."

"Ya tapi kanㅡ nggak secepat ini!" Mark bersikeras.

Esther mendorong bahu Mark pelan.
"Udah lah, kamu bukan anak kecil," Esther menghapus air mata Mark dengan telapak tangannya. "Aku aja nggak sedih."

"Kamu nggak normal ya?" Mark kesal. "Jangan cuma pikirin diri kamu sendiri, tapi orang-orang yang kamu tinggalin juga!"

"Ish," Esther tersenyum getir. "Masa udah mau mati malah dimarahin?"

"Stopㅡ jangan ngomong gitu lagi," tukas Mark. "Jadi gimana sekarang?"

"Gimana apanya?"

"Nggak ada yang bisa dilakuin? Transplantasi jantung gitu? Atau apa kek?"

Esther menghela nafas.
"Kan aku udah bilang, manusia bukan Tuhan, Mark Lee. Aku nggak bisa mengubah takdir," kata Esther. "Tapi ada yang bisa kamu lakuin buat aku ㅡitu pun kalo mau sih."

"Apa?" tanya Mark tanpa berpikir dulu.
Bagaimanapun mungkin ini adalah permintaan terakhir Esther, kan?

"Simple, bersikap biasa aja ㅡjangan ubah perlakuan kamu cuma karena kamu udah tau semuanya," ujar Esther. "Janji?"

"Tapiㅡ"

"Termasuk," Esther memotong. "Jangan pikirin benda ini lagi," ia menunjuk alat pemantau jantung.
"Anggap benda ini nggak ada, angkanya pun nggak berarti apa-apa."

Itu permintaan sederhana yang sulit. Mark berpikir keras, bagaimana mungkin ia menganggap hidup Esther normal setelah tahu semua ini?
Bahkan mungkin Mark akan memikirkan hal ini berhari-hari kedepan.

"Iya deh," akhirnya toh Mark setuju. "Tapi aku juga punya syarat. Nggak susah kok."

"Hmm... apa?" tanya Esther curiga. "Jangan aneh-aneh loh."

"Enggak, ini demi kamu juga," jawab Mark yakin. "Kamu nggak boleh membatasi diri lagi. Kamu harus lakuin semua hal yang mau kamu lakuin, sebelum kamu nggak bisa."

"Eh? Kamu kira segampang itu?" Esther sangsi.

"Aku bantu," Mark menatap Esther dalam-dalam. "Pokoknya sisa waktu yang kamu punya harus dimanfaatkan baik-baik. Deal?"

Esther ragu, dia tidak ingin membebani Mark atau siapapun. Selama ini ia menjauhi orang-orang karena ingin menutup diri dunia yang cepat atau lambat akan melupakannya.

"Deal?" ulang Mark lagi.

"Oke, deal."
.
.
.
.
.
ㅡtbc

Jadian jangan? Kok lebih dapet feel sahabatannya ya,,,, atau itumah aku aja ;(

Backup ; mark lee ✔ [revisi]Where stories live. Discover now