One

31.5K 1.9K 97
                                    


Vote dulu ya

Gadis yang turun dari bus di halte seberang jalan depan sebuah rumah sakit swasta, menyeberang hati-hati. Ia bahkan belum sempat mengganti seragam kerjanya dan langsung datang ke rumah sakit karena panggilan pihak administrasi rumah sakit.

Ia berjalan menyusuri lantai rumah sakit segera dan berhenti di bagian loket nomer tiga. Seorang wanita empat puluhan tahun menyodorkan sebuah surat tagihan atas pengobatan papanya yang masih di rawat di rumah sakit dalam keadaan koma.

"Kenapa naiknya banyak sekali?" tanya gadis itu pada bagian administrasi.

"Itu untuk terapi dan obatnya memang harganya naik. Jadi disesuaikan. Paling tidak kau harus segera setor separuhnya." Wanita yang duduk di balik meja administrasi berkata.

"Separuh dari ini berarti lima puluh juta." Gadis itu meringis menahan bingung. Ke mana ia akan mendapatkan uang untuk pengobatan papanya.

"Iya, saya tunggu dua hari dari hari ini kalau tidak perawatan Bapak Gio dihentikan." Wanita itu berkata tegas.

Gadis itu makin bingung. Ia berjanji pada wanita yang bertugas bagian administrasi rumah sakit itu. Ia berbalik dan dudul di kursi tunggu dengan muka lemas.

Ya Tuhan, aku dapat uang dari mana ini? Aku harus gimana.... Gadis itu putus asa, ia duduk sambil memegangi kepalanya.

Ia berjalan lunglai sambil menangis, tak tahu harus mencari uang ke mana lagi. Kakinya menghampiri kamar rawat inap di mana papanya terbaring tak sadarkan diri. Semua mesin-mesin yang menunjang hidupnya terdengar memekakkan telinga.

Ia menatap diam pria tua berambut abu-abu itu masih hidup, bisa dpastikan lewat layar monitor yang menunjukkan aktvitas grafik jantung papanya masih naik turun.

Gadis itu kembali memandangi surat tagihan itu dan merunduk sedih. Ia membungkam mulutnya saat menangis dan berjongkok di atas lantai.

Lantai yang sama, berdiri seorang wanita di ambang pintu kamar Anggrek nomer sembilan, menatap pilu gadis berambut hitam sepunggung yang memakai seragam salah satu restoran cepat saji yang terkenal itu, menangis tanpa suara mengelus halus kaki pria yang dipenuhi kabel-kabel penunjang kehidupannya.

"Papa bilang, aku harus kuat. Lee udah berusaha kuat, Pa. Tapi, kenapa Tuhan jahat padaku, aku harus beli sabar di mana? Toko apa?" tanya lirih gadis itu meremas kertas surat tagihan itu dan melemparnya entah ke mana.

Wanita yang menenteng tas tangannya itu merinding mendengar rintihan atas masalah gadis itu.

Seseorang berkata padaku, tak ada kebetulan yang sengaja di dunia ini. Dan aku membuktikannya. Wanita itu berjalan menjauhi kamar Anggrek nomer sembilan.

Sepatu setinggi tujuh senti itu tampak anggun dengan setelan warna ungu muda di tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang hitam legam dijepit ke belakang. Ia merogoh ponselnya.

"Aditya, bisakah kau bantu aku?" tanya wanita itu pada seseorang di seberang teleponnya.

"Katakan saja, Bu Anne."

"Aku ingin kau mencari informasi apapun soal gadis bernama Leeandra. Papanya bernama Gio yang sedang di rawat di ruang Anggrek RS Lingga Pertiwi, segera." Anne meminta.

"Baik, Bu Anne. Datanya akan Saya kirim segera."

Wanita itu, Anne berhenti di lobi rumah sakit dan berbalik sejenak. Ia tersenyum dan sedih dalam satu wajah. Lalu tak lama ia pergi meninggalkan rumah sakit dengan kertas remasan yang lecek.

Ia dihampiri sebuah mobil hitam yang mengkilap. Membawanya menjauhi rumah sakit, ia membuka tasnya mengeluarkan selembar kertas hasil tesnya yang dibicarakan oleh dokter Pinkan dengannya.

Eccedentesiast ✓ [Terbit : Ready Stock]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang