Twenty Seven

10.3K 876 18
                                    

Leeandra pulang dengan perasaan tercabik. Air matanya sempat keluar namun ia hapus dengan segera saat dari kejauhan terlihat Opi sudah ada di depan pintu utama Marisa Mall seperti yang dikatakan Angelo.

Seburuk itukah aku di matamu? Sehingga semua kebaikan apapun yang aku lakukan tak ada artinya untukmu. Menampik semua kasih yang ada untukmu, membuangnya di tempat sampah setelah kau injak-injak tak berbentuk. Lee terdiam memandang suasana malam dari balik kaca mobil.

Lee tak bisa menalar sikap Arvie, bagaimana bisa ia berkata begitu padanya. Ia baru tahu jika pernikahan mereka tak pernah benar Arvie daftarkan, ia merasa dirinya seperti apa yang dikatakan Arvie. Allen meneleponnya kala kakinya baru saja menginjak rumah, Ira membawakan tas yang ia bawa dan duduk di salah satu sofanya. Ia memberitahu jika ia harus bertolak ke Australia, karena besok paginya ada pertemuan yang harus ia hadiri.

"Aku merasa tenang kali ini jika harus meninggalkanmu, karena ada Angelo." kata Allen di telepon.

"Kak Allen itu apaan sih? Dia kan bos aku."

"Dan juga temen kakak, aku menitipkanmu padanya. Tenang saja kalau dia macam-macam tinggal nikahkan kalian saja." Allen  berkata tenang.

"Kak Allen stop deh godaan Lee." Leeandra mengelak.

"Dia jomblo, kamu single tunggu apalagi Lee? Berhenti mengharapkan dia yang tak bisa nerima kamu."

"Kak Allen hati-hati. Tenang saja, aku bisa jaga diri sendiri juga ada Ira. Kakak yang harus hati-hati."

"Iya, adikku, Sayang!" ujar Allen tertawa kecil. Lee memutus sambungan teleponnya dengan menghela napas.

Lee masih berusaha mengenyahkan kata-kata Arvie yang menyakiti hatinya. Meski ia tak melihat jelas wajah Arvie saat mengatakannya, ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi Arvie menatapnya.

"Aku terkejut melihatmu di sini, mencari mangsa baru agar kau dapat uang lebih banyak dariku rupanya, huh!"

Mencari mangsa baru? Ia bahkan tak sempat memikirkan mencari pria lain, Lee justru masih berusaha melupakan pengalaman buruk saat kehilangan bayinya, yang bagi Arvie itu tak penting, yang terpenting baginya adalah Anne, Anne dan Anne.

"Kau tahu persis siapa Angelo, seberapa kayanya dia bukan. Aku tak akan membiarkanmu memanfaatkannya sepertiku."

Lee terkejut saat Arvie menampik garpu yang Lee pegang hanya karena Arvie tak mendapat perhatian Lee. Ia sengaja tak ingin memasukkan ucapan Arvie dalam telinganya dan mencernanya, tapi tindakan Arvie membuat perhatiannya mau tak mau teralihkan. Lee bisa melihat bagaimana Arvie tanpa perasaan mengatakan itu padanya dengan mimik wajah yang sangat melukai hatinya. Lee memilih meninggalkan Arvie tanpa kata dan tak berpamitan pada Angelo. Ira melihat Lee termenung di sofa, mendekatinya.

"Bu Lee bisa cerita pada Ira kalau butuh tempat bercerita." Ira mendekati Leeandra yang duduk termangu.

"Kau pernah jatuh cinta? Hingga rasanya dadamu sesak luar biasa?"

"Ira pernah jatuh cinta, Bu Lee. Tapi, tidak pernah seperti itu," kata Ira pada Lee.

"Jika benar mencintai sesakit itu, aku tak ingin jatuh cinta, Ira. Rasanya perih sekali saat orang yang kita cintai tak membalas perasaan kita, justru menampiknya tanpa perasaan."

"Pasti ada cinta lain yang datang esok, membawa sebuah mimpi sederhana bersama Bu Leeandra, yang menawarkan sebuah rasa yang tulus untuk Bu Lee, jangan putus asa." Ira mengusap air mata Lee mengabaikan air matanya sendiri melihat betapa perihnya tatapan mata Leeandra saat ini.

Ira mengajak Lee untuk segera makan malam, takutnya makan malam yang Ira masak menjadi dingin. Sementara Arvie pulang dengan wajah kesal luar biasa. Pertemuannya dengan Sean Pascall bukanlah dalang dari kekesalan Arvie, ia mengumpat berkali-kali sepanjang jalan. Ia merasa sakit hati Angelo selalu membelanya, dia gadis dua puluh delapan tahun yang membuat Anne sedih sampai akhir hayatnya dan alasan terakhir yang berusaha ia tampik kuat-kuat, bahwa gadis itu membuatnya tak bisa berhenti melupakan bagiamana rasa nikmat yang membuatnya puas luar biasa.

Tunggu sampai aku membawamu pulang ke ranjangku, akan kurantai kau di sana sampai kau lupa bagaimana rasanya bebas.

Arvie keluar dari mobilnya di halaman rumah Miyo, ia menemukan mobil lain yang terparkir di halaman rumah Miyo. Arvie tak pernah suka jika ada orang yang seenaknya datang ke rumah tanpa ijinnya. Percakapan di dalam ruang tamu besar itu menggema, Arvie tak mau tahu siapa tamu yang sedang berbicara dengan maminya, ia memilih melewatinya.

"Arvie, ke mari sebentar. Kenalkan ini, Alida. Dia anak temen Mami." Mami menggandeng lengan Arvie mendekati sofa ruang tamu rumahnya.

Di sana, berdiri seorang gadis cantik berambut lurus sebahu, memakai gaun merah selutut, cantik, seksi dan tentunya terpesona dengan Arvie tersenyum mengulurkan tangannya di depan Arvie. Arvie yang kesal dan tak suka ada tamu yang datang ke rumahnya tanpa ijinnya walaupun itu teman Mami sekalipun.

"Halo, namaku Alida." Uluran tangannya menggantung di udara, menunggu Arvie menyambutnya. Mami berdehem ketika Arvie sama sekali tak merespon Alida.

"Aku lelah, permisi." Arvie mengabaikan Alida dan Mami yang mengaharapkannya duduk santai dan berbincang dengannya.

Alida menarik senyumnya ke dalam dan melihat punggung Arvie yang masuk ke dalam ruang tengah dan menaiki tangga.

"E, yuk kita bincang lagi. Besok kan masih ada waktu ketemu Arvie."

"Iya, Tante Jenny." Alida tersenyum ramah dan kembali duduk bersama Mami Arvie.

Arvie melempar dasinya entah ke mana. Ia sangat kesal dengan pikirannya sendiri, menarik kasar bed cover yang menyelimuti ranjangnya sembarangan ke lantai, ia kesal karena melihat bayangan dirinya di sana bersama Lee. Arvie menyaruk semua benda yang ada di meja di depan ranjang hingga berjatuhan ke lantai. Di bawah, Mami dan Alida kaget mendengar bunyi benda jatuh. Mami dan Alida sampai berdiri dan menghampiri ruang tengah melihat ke lantai dua kamar Arvie.

"Biar saya saja yang naik." Aditya menghampiri Mami dan Alida yang akan naik ke tangga.

Aditya mengangguk pamit naik ke atas. Sementara Mami mengajak Alida ke depan. Alida merasa kehadirannya tak diharapkan meminta undur diri.

"Tante, sebaiknya Alida pulang saja."

"Maaf ya atas sikap Arvie. Tante jadi enggak enak sama kamu, pertama kali main malah gini." Mami menepuk hangat tangan Alida.

"Tak apa tante Jenny, mungkin dia sedang tak ingin diganggu," ujar Alida menyampirkan rantai tasnya dan tersenyum pada Mami Arvie.

Alida berbalik setelah berada di halaman rumahnya, ia melihat ke dalam rumah seakan melihat Arvie.

"Dia tampan sekali, ya Tuhan." Alida tersenyum dan masuk ke dalam mobilnya.

Mami mendekati kamar Arvie yang berantakan, Bi Ida dan Aditya membereskan barang-barang yang berserakan di lantai.

"Vie, ada apa? Kamu kesal karena Mami ngenalin kamu ke dia? Dia gadis baik kok Vie."

"Mi, aku lelah." Arvie meminta Mami untuk tak mengajaknya bicara lagi.

Alida pulang ke rumahnya dengan perasaan senang. Ia bertemu pria yang masuk ke dalam kriteria calon suaminya. Mamanya yang melihat puterinya datang dengan wajah sumringah bertanya.

"Al, seneng banget nih? Udah ketemu sama Arvie?"

"Sudah, Ma." Alida memeluk mamanya dengan hati senang.

"Gimana, pilihan Mama? Cocok sama kamu?" tanya mama Alida pada puterinya.

"Cocok banget Ma, dia tampan sekali," puji Alida membayangkan wajah Arvie.

"Duh yang lagi kesengsem," goda mamanya.

"Aku rasa, aku jatuh cinta dengannya Maa ...." Alida duduk sambil menumpukan satu tangannya pada dagunya dan tersenyum-senyum sendiri.

Eccedentesiast ✓ [Terbit : Ready Stock]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum