kamu siapa?

1.5K 78 0
                                    

Sudah satu bulan kejadian itu aku tak pernah keluar rumah. Membuka gorden pun tak pernah kulakukan bahkan keluar kamar mungkin baru tiga kali, aku memilih mengurung diri diruangan ini dibanding keluar menjelajahi rumah megah yang ayah dan bunda tinggalkan. Aku sempat berpikir untuk pindah saja ke Apartemen namun aku urungkan karna mana mungkin aku menggunakan uang ayah dan  bunda tanpa sepengetahuannya? Dan uang bulananku juga tak cukup untuk membeli apartemen, meski ayah dan bunda punya apartemen yang bisa kutempati tapi sama saja dengan rumah ini yang meninggalkan kenangan tentang mereka.

Aku menatap kenop pintu kamarku. Tiba-tiba rasa iginku untuk membuka pintu itu datang. Aku meraih kunci mobilku dinakas yang sudah diperbaiki dibengkel oleh entah siapa yang membawanya.

Aku berjalan sambil bersenandung menuju garasi, keadaan rumah begitu hening mungkin simbok ke pasar. Aku tidak menghiraukan akan hal itu, aku terus saja menuntun kakiku menuju garasi mobil.

***

Aku memutar-mutar stirnya tidak tahu harus kemana, aku tak punya tujuan utama. Biasanya jika aku sedang suntuk di rumah aku pergi ke kantor Bunda dan menjahilinya, atau ke kantor ayah juga menjahilinya atau mengajak mereka membawaku kemall, tapi sekarang? Aku hanya bisa menghela napas saat setetes air mata berhasil lolos lagi dipipiku.

Aku menepikan mobilku ditepi danau yang pernah kukunjungi dulu bersama teman-temanku untuk penelitian, entah penelitian apa karna mereka hanya sibuk foto-foto tidak ada tugas yang selesai.

Aku duduk ditepi danau sambil menatap  hamparan air yang mengalir entah kemana. Apa nasibku memang ditakdirkan seperti ini? Aku terlahir tanpa tahu mama dan papa, aku diangkat oleh dua orang malaikat yang kusebut Ayah dan bunda lalu? Mereka pergi dengan cara yang teragis. Hhhuuu aku benar-benar tidak memahami semuanya.

Aku menutup mataku dan mendongakkan kepalaku kelangit merasakan hembusan angin yang begitu menenangkan. Hingga kurasa sebuah tetesan-tetesan hujan kurasa terjatuh dimukaku. Aku segera membuka mataku dan melihat ternyata benar hujan mulai turun dengan awan hitam yang mengantarnya. Aku segera berlari menuju sebuah ruko terdekat yang berada disekitar danau, rasanya cukup jauh jika aku berlari ke arah mobilku dibanding ke ruko itu.

Aku duduk didepan ruko itu karna tak mungkin aku masuk didalamnya sedangkan pintunya digembok. Suara petir memekakkan telingaku lalu disusul dengan hujan yang turun tak terkira. Aku menggigit bibir bawahku lalu memejamkan mataku dan menggenggam kedua tanganku tak tahan melihat ataupun mendengar suara hujan, karna hanya mengingatkanku dengan kejadian bulan lalu.

Suara motor yang kudengar bertepi didepanku, namun tak bisa mengundang keinginanku untuk membuka mata dan melihat siapa sipengendara motor itu. Mungkin ia juga orang yang ingin berteduh sepertiku.

Kudengar suara sepatunya yang terpantul dimarmer, lalu tak ada lagi yang kudengar. Aku terus saja menekan telingaku berusaha tidak mendengar suara hujan itu, namun tak bisa. Tanganku tak mampu untuk menahan suara hujan itu untuk masuk keindra pendengaranku, namun aku terus saja berusaha untuk menahannya.

Tiba-tiba aku merasa ada sebuah tangan kekar menurunkan kedua tanganku ditelingaku dan tiba-tiba sebuah earphon terpasang dikepalaku dan mengeluarkan suara yang cukup keras membuat suara hujan itu tertutupi, tak ada lagi suara hujan yang kudengar. Aku membuka mataku perlahan untuk melihat orang itu, kulihat seorang laki-laki yang sedang serius menatap hujan didekatku yang berjarak mungkin lima jengkal dariku. Sosok lelaki yang tiba-tiba membuat jantungku berpacu. Mataku tak bisa lepas menatapnya datar, meski datar namun ada rasa yang tiba-tiba menelisik saat pertama kali aku membuka mata dan melihatnya.

Aku melihat mulutnya mengap-mengap, apa ia berbicara? Padaku? Ia menoleh dan mengucapkan sesuatu lagi yang tidak kudengar karna earphon yang volumenya mungkin full lalu tersenyum kepadaku?

Tuhan dia siapa? "Kamu siapa?" Kuberanikan bertanya langsung dengannya. Kulihat lagi ia berucap, namun masih tak bisa kudengar. Aku juga tidak ingin melepas earphon ini dan mendengar suara hujan. Ia tersenyum lagi lalu ia dekatkan tangannya diwajahku. Eh? Dia mau apa? Perlahan ia menutup mataku. Lalu kurasa ia mengangkat sedikit sebelah earphon ditelingaku lalu berbisik, "jangan dibuka matanya, jika mendengarnya saja membuatmu sakit."

Entah bagaimana air mataku menetes mendengar bisikannya. Kurasakan dia menghapus air mataku membuatku kembali membuka mataku dan menurunkan earphon tadi, aku tidak peduli jika harus mendengar hujan itu. Entah sampai kapan aku harus menghindar dengan suara hujan? Biarkan saja saat ini aku mencoba mendengarnya lain kali saja aku menghindarinya lagi. "Kamu siapa?" Tanyaku membuatnya menoleh.

"Kenapa dibuka? Bukannya tadi aku melihat kamu berusaha tidak ingin mendengarnya? Matanya juga kenapa dibuka?" Tanyanya berentetan.

"Kamu siapa?" Aku tak menjawa pertanyaan berantainya melainkan melontarkan pertanyaanku yang tadi.

Ia tersenyum kepadaku sebelum menjawab, "aku tadi sudah menyebut namaku, tapi mungkin kamu tidak mendengarnya karna masih pake earphon," jawabnya. "Kamu siapa?" Lagi-lagi aku bertanya dengan pertanyaan yang sama.

"Aku seseorang yang dipatahkan oleh hujan, namun aku tak pernah membenci hujan. Karna aku tahu semua itu hanya kebetulan, aku seseorang yang belajar dari hujan menjadikan hujan waktu semuanya terenggut sebagai guruku," jelasnya misterius.

Keningku mengerut saat mendengarkan penuturannya. "Maksud kamu?"

"Saat ada luka yang datang disaat hujan turun, kurasa hujan tak perlu dibenci, kurasa ia hanya datang mengajak kita bangkit. Kurasa ia hanya datang untuk mengajari kita tentang dia, dia hujan yang tak pernah menyerah untuk terus jatuh kebumi meski sebagian orang menyalahkannya, termasuk kamu mungkin?"

Mataku nanar menatapnya tak bisa percaya apa yang dituturkannya, kenapa hatiku tiba-tiba luruh? Kenapa tiba-tiba aku merasa bodoh membenci hujan? Padahal hujan tak terlibat dengan semuanya. Hanya keadaan yang mendatangkannya bersamaan.

Aku menatapnya dengan pasrah, dia juga menatapku dengan senyumannya. Ia menghela napas lalu tiba-tiba saja memelukku, dengan tak ada ragu aku membalas pelukannya. "Jangan benci hujan, juga jangan benci keadaan. Karna semuanya sudah ada yang atur, hujan turun bukan untuk menyakiti namun untuk menenangkan," bisiknya membuatku pilu namun juga legah. "Aku gak akan membenci hujan lagi," ucapku.

Lama. Lama kami berpelukan lalu ia melepas pelukannya dan kembali menatapku namun tidak dengan senyumannya, ia menatapku datar lalu beralih kepada hujan didepan sana. "Menatap hujan lebih indah, dibanding menatapmu yang rapuh seperti itu," ujarnya. He? Apa itu ungkapan mengejek? "Jangan tersinggun, karna hujan tak ada apa-apanya jika kamu tersenyum pada dunia dan bangkit tidak rapuh lagi," lanjutnya.

Aku terdiam dan mengikutinya menatap hujan, tak ada lagi sakit yang kurasa. Namun ketenangan saja yang kurasa saat ini, entah itu sumber dari hujan atau laki-laki disampingku ini?

"Mau aku ajar bahagia bersama hujan?" Tanyanya sambil mengulurkan tangannya dan senyumnya kembali lagi.

Aku menatapnya ragu. "Mau?" Tanyanya. Akhh! Tidak semudah itu untuk hidup dalam hujan, aku masih ragu untuk terkena airnya. Mungkin aku sudah bisa melihat dan mendengarnya, namun belum bisa bahagia bersamanya seperti yang ditawarkan lelaki itu.

Aku menggeleng. "Maaf, aku belum bisa mungkin lain kali," ucapku, sungguh aku ingin bahagia bersama hujan juga bersamanya. Tapi tidak dengan sekarang. "Ia. mungkin lain kali, semoga kita bisa bertemu lagi." Katanya lalu berdiri.

Aku menatapnya berlalu menaiki motornya. "Eh earphonmu." Aku berusaha meneriakinya, namun dia sudah berlalu. "Kamu siapa?" Tanyaku lagi entah kepada siapa menatap jalan yang dilaluinya tadi.

_____________

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now