Takkan Terpisah

497 28 0
                                    

Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter yang menanganiku, sekarang aku sudah duduk diseblahnya yang sedang mengemudi. "Kita mau kemana?" Kutanya. "Kesuatu tempat," jawabnya. "Yang membuatku nyaman?" Aku menaikkan kening sambil tersenyum. "Tentu," sahutnya juga tersenyum.

Setelah menempuh perjalanan beberapa menit kami sampai disebuah kafe yang sederhana, kafe yang bernuansa putih-putih. "Kafe?" Cicitku yang digandeng tangan olehnya memasuki kafe. "Iya," sahutnya sambil menuntunku kesalah satu kursi terdekat dengan panggung minimalis yang diisi oleh band kafe mungkin? "Kamu duduk disini yah? Pesan yang kamu mau, aku ada urusan sebentar. Tunggu aku," ujarnya setelah aku duduk. Aku mengangguk menanggapi.

Setelah memesan makanan tak lama seorang pelayan mengantarkan pesananku yang juga kupesankan untuknya, "selamat menikmati," ucapnya. "Makasih," sahutku sebelum ia pergi dari tempatku.

"Tes, tes."

Kudengar suara itu berasal dari panggung yang ada didepanku, namun aku tak menghiraukannya hingga kudengar namaku disebut. "Meira, boleh kamu menoleh kesini?" Berdasarkan instruksi aku menoleh dan mendapatinya sudah duduk dikursi tunggal yang terdapat ditengah-tengah panggung dengan senyumannya kearahku. "Nona pelangi, jangan menatapku seperti itu," ucapnya menggunakan mic.

Aku langsung membalas senyumannya diatas sana. Dia sedang apa disana? Tanyaku dalam hati hingga ia kembali mengangkat suara,

"Namamu Meira yang kuberi gelar nona pelangi, aku menamaimu dengan nona pelangi karna aku tahu hidupmu perlu warna dan kau pernah mengatakan bahwa akulah yang berhak melukis warna hidupmu, dengan hujan aku akan mendatangkan warna setelahnya. Aku tidak akan berjanji akan hal itu, tapi aku akan berusaha untuk mendatangkannya, doakan saja semoga aku berhasil. Banyak kata didunia ini yang haus akan makna, namun kamu adalah satu makna cinta untukku. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa aku ada disini, kamu masih ingatkan suprise yang aku katakan? Meski sederhana, tapi aku harap kamu bisa merasakan istimewanya hidup disaat semua kataku hanya tertuju padamu, seakan dihadapanku hanya ada kamu. Yah memang hanya kamu, karna semuanya punya hidup masing-masing. Tak ada yang berhak untuk hidup didunia kita. Untuk itu aku ingin mengatakan padamu semoga saja kita tetap kita dan Takkan Terpisah."

Setelah penuturan panjangnya dia beralih memetik gitar yang sudah ada dipangkuannya.

"Saat nanti kita tak bisa saling menyentuh, memandang wajahmu kuatlah sayang karna mereka berusaha menjauhkan kita... kukan selalu mencintaimu, takkan kubohongi hati ini hanya kamu... yang aku mau, cuma kamu yang kurindukan... saat kau tak disini."

Setelah menyanyikan sebait lirik lagu dia kembali lagi bersuara dan memetik gitarnya pelan.

"Dalam sebuah hal, tentulah ada rintangan yang harus dilewati termasuk cinta, tentulah banyak rintangannya. Karna memang itulah harusnya, cinta memang harus berwarna bukan? Bukan hanya warna cerah untuk mendapatkan keindahan, tapi juga warna buram yang akan menyerpunakan warnanya. Terkadang hal yang telah menjadi milik kita suatu hari tak bisa dimiliki lagi, karna banyaknya penduduk bumi yang ingin masuk didalam dunia yang lainnya. Tapi jangan khawatir disaat semua ingin memisahkan, masih ada cinta yang akan abadi jika memang cinta itu sejati."

Aku terus saja menyimak apa yang dilakukannya diatas sana, dia kembali memberikan intro lagu dalam petikan gitarnya.

"Saat nanti kita tak bisa saling menyentuh, memandang wajahmu kuatlah sayang karna mereka berusaha menjauhkan kita... kukan selalu mencintaimu takkan kubohongi hati ini hanya kamu yang aku mau... cuma kamu yang kurindukan, kukan selalu mencintaimu takkan kubohongi hati ini... hanya kamu yang aku mau cuma kamu, yang kurindukan... saat kau tak disisi."

Lagi. Dia memetik pelan senarnya dan kembali bersuara.

"Dalam hidup tentu  seseorang pernah berdusta termasuk aku, tapi untukmu aku bisa menjamin tak ada dusta akan cinta... untukmu rindu terus saja mengalir, meski kamu masih disisi... lalu bagaimana jika tidak? Aku akan selalu mencitaimu dan akan selalu, meski mencintaimu itu harus menanggung resiko terbesar, dengan adanya cinta, ia bisa menjamin kamu... aku... akan menjadi kita."

Entah kenapa setetes air mataku terjatuh dan seakan dejavu mendengar lagu itu... akhhh, aku kembali menatapanya yang kembali bernyanyi.

"Kukan selalu mencintaimu, takkan kubohongi hati ini hanya kamu yang aku mau, cuma kamu yang kuinginkan."

Dia mengakhirinya dengan merubah sedikit lirik terakhir lagu itu, akhh aku tidak tahu siapa penyanyi aslinya dan judulnya. Padahal aku sepertinya pernah mengetahui semuanya, akhh aku kembali menggeleng saat suaranya kembali keindra pendengaranku.

"Meira? Nona pelangiku." aku tersenyum mendengar dia menyebutku dengan menggunakan kata kepemilikan itu, akhh dia seperti sudah memilikiku saja. Tapi memang kan, aku ingin dimiliki olehnya dan memilikinya. Akhh maafkan aku yang terlalu bertetus terang jika menyangkut perasaanku tentangnya.

"Semoga kamu terhibur." Setelah mengatakan itu dia menyimpan gitarnya bersamaan tepuk tangan riuh dari beberapa pelanggan yang juga menikmati penampilannya tadi lalu turun dari panggung dan berjalan menujuku. Aku langsung berdiri dan memeluknya sambil menangis, entah kenapa aku ingin menangis. "Kuharap air matamu air mata haru," ucapnya membalas pelukanku.

Aku melepas pelukanku lalu menatapnya. "Aku sangat bahagia dan terhibur," ucapku tersenyum masih ada bekas air mata dimukaku Membuatnya mengulurkan tangannya dan menghapus jejak air mata dimukaku. "Aku senang kalau kamu bahagia," sahutnya.

"Apakah tadi itu musikalisasi puisi?" Tanyaku saat kami sudah duduk berhadapan diantarai meja bundar yang diisi makanan dan minuman yang tadi kupesan. "Hmm menurutmu?" Dia balik bertanya. Aku memutar bola mata sambil tersenyum tanpak berpikir. "Menurutku itu lebih dari sekedar musikalisasi puisi."

Dia bertanya, "Terus apa?"

"Entahlah, kamu suda benar-benar mewarnai hidupku secara perlahan tapi pasti."

Dia menatapku dengan begitu dalam sambil tersenyum. "Menurutmu apa yang lebih dari musikalisasi puisi dari penampilanmu tadi?" Kutanya. Dia lagi-lagi tersenyum sambil menatapku dalam. "Entahlah Ra, aku juga tak tahu."

"Menurutku yang lebih dari itu adalah perbuatanmu yang tak kamu ungkap melainkan langsung kamu tunjukkan," tuturku.

"Ungkapan memang bukan sebuah kebutuhan Ra, melainkan sebuah keinginan saja dan perbuatan itulah yang termasuk kebutuhan kita," sahutnya. "Dan kamu mungkin sudah menjadi kebutuhanku," kataku menatapnya. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya. "karna memang manusia diciptakan berpasang-pasangan, tujuannya untuk saling melengkapi. Memenuhi kebutuhan masing-masing dan kamu telah memenuhi kebutuhanku." Dia menatapku dalam kok melow gini? Aku telah memenuhi kebutuhannya? Manusia kan diciptakan berpasang-pasangan yang sudah menikah, tapi kita? Kalau, kalau, kalau.... pikiranku berkecamuk, ada rasa takut akan Aku dan dia yang apakah memang ditakdirkan menjadi Kita, atau hanya sebatas Aku, dia saja?

"Kenapa melamun?" Dia membuyarkan lamunanku, membuatku mengerjap dan menoleh padanya. "Aku kepikiran_" Aku tak bisa melanjutkan perkataanku. "Kepikiran apa?" Kulihat dia terlihat khawatir padaku.

"Kalau, kalau nanti Aku, Kamu gak ditakdirkan menjadi kita gimana?" Aku menatapnya nanar lalu membasahi mulutku.

Kulihat dia menghela napas lalu menelan ludahnya menatapku datar, masih tatapan yang sulit diartikan. Dia mempererat genggamannya dan kulihat tatapannya makin dalam menembus iris mata coklatku. "Aku_ Aku akan berusaha menjadikan aku dan kamu selalu kita," ucapnya jelas memaksakan wajah damainya.

Aku tak membalasnya lagi, melainkan memalingkan mukaku sambil menggigit bibir bawahku. "Ayolah jangan kepikiran." Kudengar suaranya memelas. "Yang dipegang dari seseorang janjinya bukan?"

Aku menoleh menatapnya. "Gak semua janji bisa ditepatin," sahutku. Dia melepas genggamannya lalu mengacak rambutnya. "Memang semua janji terkadang gak ditepati, tapi semua yang udah berjanji akan berusaha buat nepatinnya," ujarnya.

Air mataku menes, aku cepat-cepat menghapusnya lalu gantian menggenggam tangannya. "Jujur, aku mau kamu selalu ada," ucapku. Dia menaikkan keningnya melirik tanganku yang menggenggam tangannya lalu tersenyum. "Apa kamu mau aku lamar sepulang nanti?"

"He?" Sahutku cepat.

Dia hanya membalasnya dengan kekehan sambil menggeleng. "Jangan kepikiran yah?"

Aku menatap bola mata hitamnya itu dengan senyuman lalu mengangguk, dia balas menggenggam tanganku dan balas menatapku dalam. tatapan kami seakan terkunci, bahkan makanan yang aku pesan tadi kami anggurkan.

_________________

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now