Kenapa nona pelangi?

684 36 2
                                    

Saat bel pulang berbunyi aku langsung merapikan barang-barangku dan bergegas menuju parkiran sepeda, Kudapati dia yang mendorong sepedanya kearahku. Aku tersenyum kearahnya. "Kenapa tersenyum begitu?" Tanyanya saat sampai disampingku.

"Emang gak boleh?" Tanyaku. "Bukannya gak boleh, tapi rasanya aku gak ridho aja senyummu kamu tappakkan didepan umum," ucapnya.

"Emang kenapa kalo ditempat umum? Bukannya senyum itu ibadah?"

"Akhh! Kamu tidak mengerti ternyata, aku maunya cuman aku yang melihat senyummu itu," ujarnya membuatku tertawa. "He? Kenapa tertawa?" Tanyanya cepat. "Lucu aja," jawabku. "Apakah itu tanda cemburu?" Aku menaikkan keningku memancing.

"Sudahlah, ayo kita pulang." Dia langsung menaiki sepedanya dan bersiap memboncengku.

***

"Kita mau kemana?" Tanyaku saat sadar arah yang dilaluinya bukan arah ke rumahku. "Kemana aja boleh," jawabnya seenaknya membuatku mendengus dibelakang. "Kesuatu tempat," ucapnya. "Tempat mana?" Tanyaku cepat.

"Yang membuatmu nyaman," jawabnya, aku tak lagi bertanya kurasa orang ini suka main tebak-tebakan. Aku hanya terdiam dibelakang, jalan yang kita lalui perlahan mulai sepi dan terasa sejuk. Kulihat disekililing banyak pohon pinus yang mengapit jalan.

Dia menghentikan sepedanya secara tiba-tiba membuatku tersentak dari pandanganku yang terus saja mengamati pohon-pohon disekelilingku. "Kenapa berhenti mendadak?" Tanyaku. "Kita sudah sampai," jawabnya. Aku turun dari sepeda disusul olehnya. "Hutan pinus?" Gumamku sambil menggosok-gosokkan tanganku yang terasa dingin.

"Iya, kuharap kamu menyukainya," sahutnya. "Sangat! Ayahku pernah mengajakku liburan di hutan pinus," ucapku. "Hmm maaf kalau harus mengingatkanmu," katanya sambil mengambil sesuatu didalam tasnya entah apa. "Ini pake, kulihat kamu kedinginan." Dia menyodorkanku jaket abu-abu yang kuyakini miliknya.

Aku langsung meraihnya. "Makasih."

"Ayo kita duduk disana." Dia mengulurkan tangannya kearahku sama yang dilakukannya tadi dibelakang sekolah. Aku tersenyum kearahnya lalu meraihnya.

Dia membawaku kesebuah batu yang lumayang besar, sampai aku sedikit kewalahan untuk menaikinya. Untung saja dia membantuku, disini. Diatas batu ini kami duduk sambil aku menyandarkan kepalaku dibahunya, sangat jelas terlihat keramaian ibu kota dibawa sana. Sungguh! Tempat ini benar-benar nyaman kurasa.

"Nona pelangi, apa kamu menyukainya?" Tanyanya sambil menggenggam tanganku erat, seakan tak mau lepas. "Kurasa aku lebih menyukaimu dibanding tempat ini," jawabku. Entah kenapa dia menyambutnya dengan kekehan pelannya.

"Kenapa?" Tanyaku sedikit meliriknya. "Makasih, ternyata aku salah duga. Aku tadi awalnya berpikir mungkin kamu lebih menyukai tempat ini, ternyata dugaanku salah," jawabnya.

"Haha tapi aku juga menyukai tempat ini," ucapku. "Kapan-kapan kita bermalam disini, menggantung tenda bersama keluarga kita," katanya membuat air mukaku berubah, maksudnya apa? Keluarga kita? Aku sudah tidak memiliki keluarga.

Mungkin ia merasa tanganku merenggang sehingga ia lebih mengeratkan lagi genggamannya. "Tidak! Kuharap kamu tidak salah paham, maksudku keluarga kecil kita. Aku ingin membangun keluarga kecil bersamamu nona pelangi," ujarnya yang mungkin menyadari perasaanku dan mendengar perkataannya membuatku tersenyum.

"Tuan hujan? Seberapa banyak cara kamu siapkan untuk membuatku senang?" Tanyaku mengangkat kepalaku dari bahunya lalu menatapnya. Dia ikut menatapku dan meraih tanganku yang satu. "Untukmu aku tak bisa kehilangan cara membuatmu senang," jawabnya. "Nona pelangi," sambungnya menatap dalam mataku.

"Kenapa nona pelangi?" Tanyaku, aku memberinya gelar tuan hujan karna punya alasan tertentu. Lalu dia? Apakah dia memanggilku nona pelangi karna juga mempunyai alasan tersendiri?

"Karna hidupmu harus diwarnai," jawabnya membuatku tersenyum. "Kuharap kamu yang akan mewarnainya," ucapku. Dia tidak menjawab melainkan merangkulku dan membawaku bersandar lagi dibahunya seperti tadi.

***

Saat perjalanan pulang aku melihat dari kejauhan rombongan orang-orang yang bertubuh besar, tanganku mulai berkeringat sambil meremas bajunya. Apa dia begal? "Dia orang jahat," ucapku. "Kamu benar dia sangat jahat malah," ucapnya.

"Kamu kenal?" Tanyaku, dia mengangguk. "Kamu tunggu aku disini," pintanya sambil menepikan sepedanya. "Kamu mau kemana?" Tanyaku. "Kemereka, dia sedang menungguku," jawabnya membuatku langsung cemas seketika. "Jangan!" Ucapku spontan. "Tenang saja, dia takkan melukaiku." Tanpa menunggu kalimat yang ingin kulontarkan dia bergegas menuju orang-orang itu. Sekarang aku hanya bisa berdoa padaNya agar orang-orang itu tidak menyerangnya.

Kulihat dari kejauhan orang-orang itu mengelilinya. Tuhan dia sangat kecil dibandingin mereka. Lirihku dalam hati. Kulihat dari jauh mereka berbica entah apa yang dibicarakannya, lalu memberikan sesuatu padanya. kulihat dia kembali berjalan kearahku dan rombongan itu bubat ditempat.

"Ayo kita pulang, kurasa aku sudah utang penjelasan terhadapmu," ucapnya saat sampai disampingku membuatku tersenyum.

***

"Mereka tadi_" dia memulai menjelaskan namun entah kenapa kalimatnya terpotong dengan helaan napasnya sambil mendongakkan mukanya keatas lalu kembali melanjutkan lagi, "dia semua adalah ajudan bos Ayahku," ucapnya. Aku hanya diam mendengarkan, kurasa aku tak perlu memotong atau bertanya kelanjutannya. Aku yakin tanpa kuminta dia akan menjelaskannya secara detail.

"Dia mengembalikan kunci rumahku." Dia menunjukkan kinci rumahnya yang kuyakini orang tadi yang memberinya. "Sebelumnya dia mengambilnya untuk dijadikannya sebagai jaminan untuk kedua orang tuaku, orang tuaku korupsi di kantor bosnya."

Mataku terbelalak mendengarnya, namun aku tak menunjukkannya. Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. "Kuharap kamu tak menjauhiku setelah mengetahuinya." Dia melirikku. Aku menggeleng dengan tegas lalu dia melanjutkannya lagi. "Mereka pergi dari rumah tanpa memberi tahuku, mereka melarikan diri dari buronan polisi." Dia kembali menghela napas lalu melanjutkan. "Saat pergi aku tidak marah, aku tidak marah dengan mereka yang meninggalkanku ataupun kepada polisi yang memborongnya karna aku tahu itu memang tugasnya dan mereka memang pantas untuk dikejar."

"Tiga hari kepergian mereka seseorang menemuiku dan menyita rumahku lalu aku hanya bisa pasrah dengan semuanya. Jujur ada rasa kecewa pada mereka, namun aku kembali lagi berpikir positif mereka melakukannya karna ingin hidup lebih, tapi kenapa harus begini caranya? Kenapa harus hidup lebih?"

"Satu minggu setelah rumahku disita aku mendengar kabar mereka yang hendak ke luar entah di negri mana, dan pesawat mereka terjatuh. Saat itu aku hanya bisa tersenyum mendengar kabar itu, kupikir ini mungkin balasan atas yang diperbuatnya. Dan setelah memastikan jenazahnya ditemukan bosnya ingin mengembalikanku kunci rumah itu, tapi aku menolaknya. Aku tak ingin hidup dirumah hasil korupsi mereka, jadilah aku melanjutkan kostku sampai sekarang."

"Nona pelangi kuharap kamu tidak tidur mendengar ceritaku." Aku terkekeh mendengarnya. "Lanjutkanlah," pintaku.

"Dan tadi dia mengembalikanku, karna kakek yang menyelamatkan rumah itu. Dia tak ingin pemberiannya disita begitu saja, dan baru juga kutahu ternyata rumah itu hadiah dari kakek saat mereka pengantin dulu."

"Dan sekarang aku tidak tahu apa aku harus kembali di rumah itu lagi atau tetap tinggal dikost-an, karna aku juga tidak punya hak di rumah itu."

Sudah lama aku terdiam sampai sebuah pertanyaan membuat mulutku refleks bertanya, "kenapa tidak punya hak?"

"Aku bukan putra kandung dari mereka, aku hanya anak panti yang diangkat oleh mereka," ucapnya membuatku kaget seketika. Kenapa sama? Dia juga anak panti?

__________________

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now