Aku rindu hujan

506 26 0
                                    

Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10, tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Aku membalik-balikkan katalog dipangkuanku tanpa minat untuk melihatnya lebih jelas.

Semua siswa sangat mengidam-idamkan hari minggu termasuk aku dulu, hari minggu bagiku adalah segalanya, dimana aku bisa menghabiskan waktu dengan Ayah dan Bunda. Tapi setelah mereka pergi hari minggu dimataku berubah makna, hari minggu adalah hari yang menjenuhkan. Berada di rumah sepanjang hari tanpa ada teman berbincang sangat menjenuhkan buatku.

Aku mendengus pelan sambil meletakkan katalog tadi di meja lalu bangkit dari dudukku, aku baru ingin menginjakkan kaki ketangga nomor satu saat pendengaranku menangkap bunyi bel rumah, sepertinya diluar ada yang memencetnya. Mataku menyipit tapi siapa? Siapa yang akan menemuiku "dia?" Gumamku dengan senyum lirih.

Aku langsung berlari kearah pintu dan membukakan pintu orang yang kuyakini itu adalah dia, namun betapa terkejutku saat melihat bukan dia yang berada dibalik pintu melainkan tante Elvi-saudara Bunda.

"Tante?" Ucapku, entah itu ucapan sapaan atau bagaimana, sudah lama aku tak menemuinya. Terakhir aku melihatnya saat kepergian Ayah dan Bunda setelahnya ia tak pernah menjengukku. "Keadaanmu sudah membaik Mei?" Tanyanya.

"Seperti yang terlihat," jawabku memperlihatkan tubuhku yang entah apakah memang seperti yang terlihat atau bagaimana. "Kamu terlihat kurusan," ucapnya melangkah masuk mendahuluiku. Aku mengikutinya duduk di ruang tamu.

"Aku ambilin minum tante," ucapku hendak melangkah memasuki dapur saat dia menghentikanku. "Gak usah, aku cuman sebentar kok. Simbok mana?" Ia mencari-cari keberadaan simbok.

"Simbok pulang kampung, anaknya sedang sakit," jawabku sambil duduk didepannya, rasa penasaran akan kedatangannya terus saja memaksaku untuk bertanya, tapi aku berpikir biar dia sajalah yang mengatakannya. Karna pasti ia punya tujuan tertentu mengunjungiku, jarang-jarang ia akan datang.

"Mei, aku disini mau panggil kamu tinggal di rumah," ujarnya sukses membuatku menyipit mendengar penuturannya, tinggal di rumah? Maksudnya dirumahnya? "Dirumah tante?" Tanyaku, dia menjawabnya dengan anggukan.

"Kupikir kamu akan lebih baik disana, meski memang kamu bukan anak dari mbak aku, tapi mbak aku udah menganggap kamu sebagai anaknya sendiri jadi sudah kewajiban aku menjaga kamu sebagai tante."

Aku terdiam mendengar penuturannya, berusaha mencerna setiap kalimatnya. Kenapa ia mengungkit itu lagi? Bukannya dulu setelah memberitahuku semuanya Bunda meminta pada keluarga manapun untuk tidak membahasnya?

Hmm aku langsung menggeleng pelan. "Maaf tante, aku gak bisa. Hidup di rumah ini sudah membuat aku baik-baik saja."

"Kenapa? Kamu boleh tinggal di rumah tante, dan menjual rumah ini."

Lagi. Kalimatnya membuatku menyipit tak percaya, mana mungkin ia ingin menjual rumah Bunda? Akh aku tidak akan membiarkannya. "Tidak Tante, biar bagaimana pun juga rumah ini termasuk peninggalan Ayah sama Bunda. Aku akan usahain agar rumah ini selalu terurus dan gak terjual." Tuturku.

"Baiklah Meira, kalau itu mau kamu. Aku pergi dulu, tapi kusarankan kamu berpikir ulang lagi mengenai hal ini." Tante Elvi bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar tanpa mengatakan sepata katapun lagi, aku menatap kepergiannya lalu menghembuskan napas dan berjalan untuk menutup pintu.

Aku berjalan menaiki tangga, melanjutkan langkahku tadi yabg sempat tertunda karna suara bel. kenapa ia ingin menjual rumah ini? Aku bertanya-tanya dalam hati tentang keputusanya itu, kalau rumah ini terjual? Aku tinggal dimana? Aku menggigit bibir bawahku lalu menggeleng. Tidak. Aku tidak akan membiarkan rumah ini terjual, bagaimanapun caranya. Lagian aku juga punya hak akan rumah ini, bahkan lebih darinya. Statusku yang diketahui semua orang adalah anak Bunda dan Ayah, kalau-pun ada yang mengetahui bahawa aku hanya adopsi, ia tetap mengerti bahwa Ayah dan Bunda menganggapku lebih dari itu.

Saat aku membenamkan mukaku kebantal berniat untuk menjelajah kealam mimpi tiba-tiba suara bel rumah nyaring memasuki indra pendengaranku lagi. Akhh siapa lagi? Dengan terpaksa aku kembali menuruni tangga dan berjalan menuju pintu untuk membukanya.

"Mbok," seruku bahagia saat mendapati simbok yang tengah tersenyun padaku dibalik pintu itu, tidak sungkan aku langsung memeluknya. "Kuharap anak mbok, sudah sembuh total," ucapku.

"Alhamdulillah udah non," ucapnya lalu aku melepas pelukannya dan menggandengnya masuk rumah.

"Tadi didepan aku liat mobil nyonya Elvi," kata Si mbok berjalan menuju kamarnya yang terletak dekat dapur. "Iya mbok," sahutku mengikutinya. "Ada perlu apa dia?" Tanyanya sambil membuka pintu kamarnya.

"Mengajakku tinggal dirumahnya," jawabku sambil bersandar diujung pintu, aku tak masuk kamarnya. "Dan berniat menjual rumah ini," lanjutku sontak membuatnya menoleh kaget. "Apa gak salah non?" Tanyanya, aku menggeleng. "Mana mungkin dia ingin membiarkan rumah nyonya sama tuan dijual?"

"Aku gak akan biarin mbok," ucapku. "Kuharap kamu bisa mempertahankannya non," katanya memindahkan barang-barangnya ke lemari. "Dia tidak akan bisa, jika tidak mendapat persetujuan dariku," ujarku.

"Iya non," sahutnya, mungkin sama sepertiku simbok juga tak ingin rumah megah penuh kenangan ini terjual begitu saja. Walau bagaimana pun juga simbok sudah menjadi bagian rumah ini, dia sudah bekerja sebelum kedatanganku disini. Ayah dan Bunda juga sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri bukan sekedar pembantu rumah tangga, melainkan keluarga yang dituakan dirumah ini.

"Mbok istirahatlah, aku balik ke kamar," ucapku lalu meninggalkannya.

***

Aku menatap atap kamarku sambil memeluk boneka beruang yang selalu menemani tidurku dan mendengarkan rentetan-rentetan musik yang ditimbulkan oleh kotak musiknya yang aku simpan disampingku sambil bermain sendiri.

Pikiranku berkelena, tentang rumah ini jika terjual. Memang aku ngotot untuk mempertahankan rumah ini, tapi siapa tahu juga tante Elvi lebih ngotot untuk menjualnya. dia punya banyak cara untuk itu, aku akan didahuluinya. Aku menghembuskan napas lalu berguling kekiri, kalau benar terjadi? Aku akan tinggal dengannya? Akhh tidak!

Aku tidak bisa, aku gak bisa bayangin tinggal dengan mereka. Meski dia masih saudara Bunda, tetap saja dia seperti orang asing bagiku. Eh memang orang asing kan? Hanya Bunda dan Ayah yang mengadopsiku, bukan keluarganya.

Aku bangkit dari tidurku dan meraih fotoku bersama Ayah dan Bunda yang kutaroh diatas nakas, mataku perlahan mengabur dan saat kukedipkan sebuah bening berhasil lolos dengan lincahnya. Aku mengusapnya sambil menelan ludahku. Kenapa serumit ini setelah Ayah dan Bunda pergi? Aku memeluk bingkai itu dengan erat seolah dia adalah Ayah atau Bunda yang sedang kurindukan.

***

Tak ada yang lebih pedih dibanding merindu hujan
Merindu setiap rintihannya yang ditemani kabut-kabut awan mengantarnya
Merindukan suaranya yang begitu deras, yang seakan mampu meluruhkan semua sedih

Tak ada yang lebih pedih dibanding merindu hujan
Rindu akan genangannya yang membawa kenangan
Rindu akan sejuk yang memeluk tubuh

Tak ada yang lebih pedih dibanding merindu hujan
Rindu menari dibawahnya
Rindu akan maknanya

Tak ada yang lebih pedih dibanding merindu hujan
Rindu dengan pelanginya yang diantar

***

Aku menghela napas lalu mengangkat mukaku yang kubenamkan, melihat diluar jendela yang menampakkan kecerahan lalu berkata lirih dalam hati, Aku rindu hujan.

_________________

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now