Bab 6

1.3K 174 8
                                    

Untuk kesekian kalinya Draco melirik seseorang yang duduk di sampingnya. Ia memang masih fokus saat menyetir, tapi jujur saja kehadiran seorang wanita di sampingnya membuatnya tak bisa berhenti melirik ke samping. Wanita itu terlihat begitu rapuh, lemah, dan tak berdaya. Bekas air mata masih terlihat di pipinya walaupun ia telah berulang kali menghapusnya. Lagipula, semua usahanya untuk menghilangkan kesedihan itu tak akan berguna karena matanya masih tampak merah dan tak lelah memproduksi cairan bening itu.

Draco tidak munafik, ia tahu apa penyebab kesedihan Hermione. Kesedihan yang mampu membuat istrinya yang berkepribadian tangguh menjadi rapuh. Serapuh bunga dandelion yang selalu terbang tak tentu arah. Jujur, Draco sedih melihatnya, ia ingin menangis saat itu juga begitu melihat Hermione menangis. Tapi dengan sekuat tenaga ia menahannya, ia tak ingin kelihatan lemah di depan istrinya.

Scorpius sendiri hanya duduk diam di jok belakang mobil, menonton dalam diam tingkah laku kedua orang tuanya sembari memanjatkan do'a terbaik yang sanggup ia katakan pada Tuhan. Ia memang baru berusia lima tahun, tapi otaknya tahu bahwa apa yang dikatakan neneknya pada kedua orang tuanya di rumah psikiater tadi bukanlah sesuatu yang bagus.

Draco kembali menoleh pada sosok wanita di sampingnya, "Hermione?"

Hermione —yang sebelumnya menyandarkan kepalanya pada kaca mobil— langsung beralih menatap Draco dan dengan cepat mengusap air matanya.

"Aku tahu perkataan Mom tadi membuatmu terguncang. Tapi percayalah padaku, aku tak akan pernah meninggalkanmu." ujar Draco tulus.

Hermione berpaling, ia menatap lurus ke depan. Menatap jalan raya yang disesaki oleh berbagai kendaraan. Ia tahu Draco tulus mengucapkannya, tak ada satu pun nada bicaranya yang menyiratkan kebohongan. Namun, ia masih takut. Takut bila semua orang yang disayanginya pergi meninggalkannya seorang diri dengan balutan memori yang hanya mencapai usia 16 tahun.

"Kau percaya padaku kan?" tanya Draco memastikan. Pasalnya sedari tadi Hermione hanya diam, dengan sorot mata kosong.

Hermione mengangguk lemah.

Scorpius mendengus kecil lalu memalingkan wajahnya menatap kaca mobil. Jalanan sangat ramai saat ini dan ia berharap jalanan yang ramai ini dapat membuat telinganya tuli untuk sesaat agar ia tak mendengar suara Ayahnya yang terus menyakinkan sang Ibu bahwa dirinya tidak akan pernah pergi meninggalkannya.

Sekarang mobil yang mereka tumpangi berbelok ke kanan meninggalkan jalanan ramai dan penuh sesak yang digantikan dengan jalan kecil berkelok-kelok dan di samping kiri kanannya terdapat pepohonan yang rimbun. Draco memang sengaja tidak pulang dahulu. Lebih baik menenangkan diri di tempat yang akan mereka tuju.

Setelah menikung tajam, jalan kecil beraspal yang mereka lewati digantikan dengan jalan yang berbatu, pepohonan di kiri kanan mereka juga menghilang digantikan dengan hamparan bunga dandelion.

"Desa?" tanya Scorpius.

Draco tersenyum dan mengangguk.

Ya, Draco membawa keluarga kecilnya ke sebuah desa yang terkenal sebagai penghasil bunga terbesar di London. Desa ini sangat asri dan tentram kerena jauh dari hiruk pikuk perkotaan, siapapun akan betah tinggal disini.

"Apa di sini hanya ada bunga dandelion?" tanya Scorpius lagi, setelah ia berhasil membuka kaca mobil dan melongokkan kepalanya keluar.

Draco terkekeh, "Jangan terkecoh dulu, saat ini yang terlihat memang hanya hamparan bunga dandelion. Tapi, di ujung sana nanti kau akan menemukan berbagai bunga yang indah nan harum."

Diam-diam Hermione menyimak pembicaraan sang Ayah dan anak. Jujur saja ia gembira Draco mengajaknya kemari, bunga dandelion disini sangat indah apalagi saat semilir angin bertiup menerbangkan beberapa bunga dandelion. Hal itu cukup untuk membuat Hermione kagum dan untuk sejenak melupakan perkataan pahit Ibu mertuanya.

DANDELIONWhere stories live. Discover now