Bab 22

765 95 3
                                    

Ketika Scorpius ambruk secara tiba-tiba, Harry sigap membawanya ke rumah sakit. Dokter yang memeriksa Scorpius mengatakan bahwa anak itu mengalami shock dan tekanan yang disebabkan oleh pikirannya.

Singkatnya, Scorpius mengalami stress.

Jika ditelusuri secara menyeluruh anak sekecil Scorpius sudah termasuk kuat mentalnya jika menghadapi hal seperti ini. Hanya saja tubuh mungilnya tak kuasa lagi menanggung beban seberat itu hingga akhirnya menyerah.

Bukan menyerah, tetapi butuh istirahat, mungkin?

Narcissa seolah tak peduli dengan kondisi cucunya yang memprihatinkan, ia tadi tetap berusaha membawa Scorpius pulang saat Harry hendak membawanya ke rumah sakit. Berkali-kali Narcissa menepis tangan Harry yang berusaha menggendong cucunya.

Berkat bantuan dari istrinya ia bisa membawa Scorpius.

Dan Narcissa...

Ia tak datang ke rumah sakit padahal Harry telah memberitahu alamatnya. Harry bisa saja egois untuk menyelamatkan putra sahabatnya itu, tetapi Narcissa adalah nenek kandungnya, wali sah Scorpius saat kedua orang tuanya tidak ada. 

Harry duduk termenung di kursi samping ranjang Scorpius, menunggu kabar lebih lanjut dari Narcissa, Draco, atau mungkin Hermione. Menatap Scorpius yang sedang terbaring lemah di kasur membuatnya hatinya terasa teriris.

Ia menyandarkan punggungnya dan mendesah panjang. Narcissa, sialan! Bukannya menengok cucunya, justru ia tak mau menjawab pesan bahkan telepon dari Harry. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu.

Ah, atau mungkin ia sedang menyiapkan rencana lain bersama Astoria demi membujuk Scorpius?

"Aku tadi menerima kabar dari Ron bahwa mereka akan pulang." ujar Ginny ketika ia masuk ke ruangan tempat Scorpius di rawat. James dan Albus memilih untuk bermain di taman rumah sakit ditemani Keren dan Rachel.

"Mereka tahu?"

Ginny mengangguk. Tangannya meraih telapak tangan Scorpius dan menggenggamnya erat. "Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib anak ini..."

Mata Ginny kembali memerah dan dipenuhi air mata yang siap jatuh kapan saja. Harry membenarkan posisi duduknya agar ia bisa menghadap sang istri. Ditangkupnya kedua pipi Ginny seraya tersenyum simpul.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak."

Ginny mendesah berat. "Sulit menghilangkannya."

"Aku tahu. Justru karena kesedihan kita, Scorpius tak akan bisa bangkit. Narcissa sudah seperti itu, aku tak ingin membuat anak ini semakin tertekan."

"Jika saja aku bisa mencegah Ron, jika saja aku bisa mencegah Draco, jika saja aku bisa mencegah Narcissa lebih lama, pasti... pasti, anak ini tidak akan menderita."

Harry mendekap Ginny erat, memberikan kekuatan untuk wanitanya. "Shuttt... bukan salahmu."

Ginny menggeleng dalam dekapan Harry, masih menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang menimpa keluarga Malfoy. Harry hanya bisa diam membiarkan sang istri menumpahkan semua air matanya di dadanya. Ia tak peduli meski kemejanya akan basah nantinya.

"Aku takut..." ujar Ginny pada akhirnya setelah ia melepas dekapan Harry. Ia mengusap air matanya secara kasar lalu menatap sang suami sendu.

"Takut kenapa?"

"Takut jika Draco tak pernah kembali dan Narcissa membawa Scorpius pergi dari Hermione."

Harry mengerjap sebentar. Apa yang diucapkan istrinya benar. Jika Draco tak pernah kembali maka hal itu menjadi peluang besar bagi Narcissa untuk membawa Scorpius pergi dan menjadikannya pewaris perusahaan.

DANDELIONWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu