3. Mading

2.1K 277 145
                                    

Hari kedua di mana aku menjadi kelas 12 pun dimulai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari kedua di mana aku menjadi kelas 12 pun dimulai. Beberapa guru sudah masuk ke kelas untuk mulai menyusun organisasi kelas. Yang lain sibuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku juga masih belum bisa sedekat itu dengan mereka. Karena, hal yang menyebalkan adalah, di mana kamu harus bepisah kelas dengan sahabatmu yang selalu ada dari kelas 10 dan 11.

Wali kelas kami yang bernama Bu Tiara itu meninggalkan kelas setelah selesai membentuk organisasi kelas. Ada Dio yang menjadi ketua kelas dan aku terpilih menjadi sekretaris, padahal aku tidak mencalonkan diri sama sekali.

"Hei, nggak nempelin bahan-bahan ke mading Ras?" Lo udah nulis, kan? tanya Nabila—teman baru sebangkuku.

"Ini mau nempelin, tapi nggak ada temen."

"Ini yang di depan lo sekarang, bukan temen lo gitu?" Nabila menunjuk dirinya sendiri.

Aku hanya tertawa kikuk.

"Ya udah gue temenin yuk! Keburu jam istirahat dateng, kan nggak enak kalo diliatin sama anak-anak lain." Nabila terlihat semangat, membuatku jadi bersemangat pula.

Kemudian aku dan Nabila berjalan santai, sambil mengobrol ringan menuju papan mading yang jumlahnya ada empat. Tujuan pertama yaitu mading dekat kelas 10.

Aku cukup menempelkan beberapa cerpen menarik tentang bagaimana pengalaman baru seorang siswa kelas 10 yang aku harap dapat menarik. Juga beberapa hasil foto-fotoku dan untaian singkat. Nah, sudah selesai.

Kemudian berpindah ke mading dekat belakang sekolah, biasanya mading ini juga ramai. Kalau di sini aku cukup menempelkan beberapa puisi-puisi ringan.

Karena papan mading ke tiga masih digembok. Akhirnya Nabila mengajakku langsung ke mading utama. Mading yang berdekatan dengan kantin, masjid serta koperasi siswa yang menjadi magnet kalau sedang istirahat. Di sana banyak tulisan-tulisan yang lebih keren daripada buatanku. Semua siswa bebas mengirimkan karyanya di sini.

Tapi aku selalu menggantung untaian-untaian kata yang tak bermakna di sini. Tak bermakna untukku, karena si pemilik karya itu belum tahu kemana akan melabuhkan kapalnya kalau nahkodanya saja belum ditemukan.

Kalau kamu sadar,
Kamu bisa lihat di depanmu,
Orang yang kamu kejar sudah dimiliki orang lain,
Kalau boleh,
Kamu bisa melihat ke arah belakang,
Ternyata masih ada orang yang mau mengikuti langkahmu,
Masih terlalu takut untuk melepasmu jatuh,
Terlalu khawatir melihatmu sendu,
Masih selalu ada untukmu,
Dan kamu tahu itu?
Itu aku.

"Ih baguss bangettt Ras!" Nabila semangatt mengangkat-angkat lembaran kertas kecil berwarna krem itu.

"Jangan terlalu heboh lompat-lompatnya Nab, nanti glitternya pada tumpah." Aku mengambil puisi itu lagi.

"Hehe, maaf-maaf. Habis bagus sih Ras, jadi baper sendiri, nih."

Kalau yang lain biasanya menggunakan kertas putih, aku biasa menggunakan kertas krem kasar dan menulis dengan tinta cokelat. Dan setiap karyaku tidak ditempel langsung dengan lem, karena aku takut dengan satu hal: kalau karyaku sudah habis masa tempelnya dimading pasti akan menjadi sampah, kan? Pasti perekat itu akan susah dilepas dan mau tak mau harus dirobek atau dicopot paksa.

Warm Constellations Where stories live. Discover now