5. Panggung Kehidupan

1.5K 264 153
                                    

Part ini mengandung berbagai unsur baper yang harus kalian tanggung sendiri-sendiri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Part ini mengandung berbagai unsur baper yang harus kalian tanggung sendiri-sendiri. Pokoknya ramein ya guys! Haha.

---

"Arga, kenapa sih harus teater yang lo pilih?" tanyaku heran, "bahkan eskul lainnya masih banyak, kan? Yang, uhm, menurut gue lebih keren?"

Arga baru saja duduk usai latihannya hari ini. Penampilannya barusan sangat keren. Membuatku tidak sabar melihat aksinya minggu depan. Kemudian aku memberikan minum di botolnya yang keren itu.

"Eh Ras, bentar-bentar kenapa teater?" Terdiam sejenak, Arga malah mengajakku keluar. Kami berjalan keluar dari gedung teater itu.

"Sebentar, Ras, gue pegang tangan lo boleh?"

Aku terdiam, rasanya aliran darah dalam diriku membeku untuk beberapa detik. Refleks aku mengangguk. Tepatnya, aku merasa... aneh? Tapi, menyenangkan.

Kami berjalan menyusuri trotoar kota. Sore yang indah, gumamku. Banyak pedagang-pedagang kecil yang sibuk berjualan, kendaraan-kendaraan saling sahut dengan klaksonnya. Mungkin mereka ingin mencipta obrolan? Aku kurang mengerti sebenarnya, mengapa obrolan mereka di jalan? Mengapa pengendara mobil yang hanya satu penumpang tidak naik kendaraan umum saja? Mengapa dan mengapa lainnya selalu terpikirkan dibenakku.

Padahal banyak sekali angkutan kota yang sepi. Sedari tadi angkutan umum juga hampir berhenti, mungkin mereka kira aku dan Arga akan naik. Tapi, kalau melihat bapak-bapak supir yang angkotnya sepi. Aku jadi sedih sendiri. Rasanya ingin sekali bisa membantunya. Tapi, apalah Rasya ini. Hanya gadis biasa yang belum ada apa-apanya.

Tiba-tiba Arga melepas genggamanku.

Kemudian berjalan cepat lebih dulu. Hingga punggungnya tak lagi kutemukan.

Kemana laki-laki itu? Bahkan kita sudah berjalan cukup jauh. Jalan untuk ke gedung teater tadi pun aku lupa-lupa ingat.

Aku masih meneruskan berjalan. Satu dua tatapan berhasil memporak-porandakkan pikiranku. Juga siulan-siulan nakal dari segala penjuru. Mulai dari tukang ojek, kondektur bus, hingga mereka yang ingin berjalan di sampingku. Aku berjalan melipir, mengikuti arah trotoar yang malah disalah gunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Jakarta itu keras.

Aku berjalan secepat mungkin, mencoba mencari punggung seseorang, yang baru saja hilang. Kenapa kamu pergi mendadak di saat senja baru saja hadir. Oh, iya. Aku bahkan lupa, senja juga jahat. Dia hanya hadir sebentar, lalu pergi digantikan malam. Tapi, senja juga baik. Walaupun dia akan melihat orang yang dicintai sebentar. Pasti dia akan datang terus setiap hari.

Keringat dinginku mulai mengalir. Suhu tubuhku juga menghangat, langkahku perlahan mengecil.

Aku berhenti, tepat di bawah baliho besar penunjuk arah. Tanganku memegang besi baliho itu. Angin sore menyeruak masuk, seakan menggerogoti leherku.

Warm Constellations Where stories live. Discover now