Perkara Mengikhlaskan

538 9 0
                                    

Malam menjadi sebuah ironi. Ketika semua orang beranjak untuk memasuki alam mimpi, berlari dengan waktu untuk merebahkan diri ketika sepanjang hari diguncang dengan banyaknya kejadian yang semesta ciptakan, tetapi aku malah sebaliknya. Setiap malam tiba, aku hanya terdiam, terpaku. Melihat dalam keheningan malam, yang ketika kusadar tahun sudah berputar, bertambah 1 dan ternyata kau masih menjadi tema yang tak kunjung pudar untuk kuceritakan.

Kau tau aku disini masih benar-benar menanti kabarmu, benar-benar menunggu sebuah cerita darimu. Apapun cerita tentang bagaimana kau menjalani hari, menantikan esok hari,bercerita tentang banyaknya mimpi-mimpimu yang bergerilya; yang kuharap bahwa aku juga ikut ambil bagian dalam gerilya mimpi-mimpi yang kau kejar dan kau amini. Nyatanya itu hanya sebuah imajinasiku saja  hehe.

Masih ingat ketika kita bertemu di ujung jalan petang itu? Aku tak menyembunyikan apapun kepadamu karena memang begini adanya, dari awal kita beradu tatap, hingga semesta merusak (dibaca saat kita berpisah): rasa itu tak pernah buyar; debarnya masih mampu membuat sekujur tubuh bergetar. Rasanya masih sama ketika dulu tawa sederhanamu mampu mengguncang seisi kepalaku. Menerjemahkan di dalam kepala bahwa ternyata malaikat bisa tertawa juga.

Tetapi kau memilih berpaling ketika pandangan kita bertuburkan. Memang yang terjadi sekarang adalah bagaimana dirimu berusaha menjauh, berlari ketika akupun berlari ke arahmu. Bagaimana dirimu mengacuhkan setiap notifikasi pesanku, mengurungkan niat untuk membalasnya; atau malah menganggap bahwa dentingan pesanku hanya sebuah perusak keadaan.

Sebetulnya aku sudah menanamkan dalam-dalam di dalam kepala bahwa melupakanmu adalah bentuk keharusan. Tetapi memang kenangan ini tidak tau diri. Ditambah lagi jemariku ternyata senang menari untuk mengejamu kembali dalam bentuk puisi.

Puisi yang berupa kumpulan kata-kata berkiasan yang sederhana tetapi untukku terlalu banyak makna untuk menggambarkan sesuatu yang takbisa diungkapkan: luka, rindu, senyummu, hangatnya tatapanmu. Kata-kata yang menjadi irama dan membuat jemariku dengan senangnya berdendang. Menari sembari menemani dan menghibur hati yang selalu menyendiri selepas kau pergi.

Yang pada akhirnya puisi-puisi itu mengajariku bahwa menanti itu adalah perjuangan. Perjuangan untuk mendapatkan atau mengikhlaskan.

Jika mendapatkanmu adalah arti berjuang dengan cara menunggu ketika semesta memberi restu, aku bersedia.

Jika mengikhlaskanmu adalah arti berjuang, maka kau perlu tau, bahwa ada seorang lelaki sederhana, yang keras kepala. Lelaki yang selalu meminta satu nama ketika berdoa kepada Tuhannya. Lelaki yang tak bisa berlari kemanapun, yang hanya berputar kepada satu nama: dirimu.

Dan lelaki itu aku; yang berusaha mengihklaskanmu.

Karena mengikhlaskanmu bukan tentang kekalahan ketika aku melihatmu sedang bersenang-senang. Tetapi tentang bagaimana aku terbangun dari ilusi bahwa hidupmu jauh lebih baik dan tenang tanpa aku di dalamnya.

—Francesco Satria
Bandung, 13 Januari 2018
#senjadikotatua

Sajak Acak Tentang Diaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें